Pengusaha Outsourcing Siap Ikuti Aturan

Oleh : Irvan AF | Sabtu, 25 Februari 2017 - 15:43 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Pengusaha penyedia tenaga kerja outsourcing atau alih daya yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) menyatakan siap mengikuti aturan main pemerintah.

"Apa yang sudah ditetapkan pemerintah, kita taati. Para pengusaha outsourcing ingin menjadikan Indonesia sebagai negara pusat outsourcing dunia," kata Ketua Bidang ABADI Anta Ginting dalam rilis, Sabtu (25/2/2017).

Menurut Anta yang juga merupakan Direktur SIMGroup itu, hal tersebut dapat tercapai dengan cara fokus menjalankan sistem bisnis alih daya yang sehat dan menaati regulasi yang ada.

Ia mengemukakan, pihaknya berkaca dari India dan Filipina, yang kini selalu menjadi tujuan utama alih daya bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Amerika Serikat.

Untuk itu, ujar dia, pihaknya bertekad untuk mulai membenahi sistem, dan menghapus paradigma negatif soal outsourcing atau konsep alih daya tersebut di Indonesia.

Karena dalam kenyataannya, Anta mengingatkan bahwa outsourcing dalam negeri telah menghasilkan pajak dan premi BPJS hingga Rp1 triliun per tahun.

"Kita bisa menggeser posisi India dan Filipina sebagai negara pusat outsourcing dunia karena jumlah SDM kita juga tidak kalah banyak," katanya.

Hanya saja, ujar dia, Indonesia juga perlu membenahi sistem kerja terlebih dahulu, kemudian melatih SDM agar menjadi karyawan yang berkualitas dan memiliki berbagai macam keahlian kerja.

Anta menyatakan sudah saatnya pekerja dalam negeri juga diberikan pelatihan multibahasa seperti Inggris, dan Mandarin untuk menambah nilai "jual".

"Kami fokus untuk mendidik, dan melatih calon karyawan agar siap kerja. Itulah mengapa kami rutin mengadakan program simulasi kepada karyawan sebelum ditempatkan di perusahaan mitra kami," ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menegaskan isu tenaga kerja di Indonesia harus menjadi kunci mengatasi ketimpangan sosial dan pengangguran di masyarakat.

"Salah satu kontribusi ketimpangan adalah masalah ketenagakerjaan. Namun isu ini masih menjadi isu marginal di Indonesia," kata Hanif dalam peluncuran laporan ketimpangan oleh Oxfam dan INFID di Jakarta, Kamis (23/2).

Dia mencontohkan kementerian tenaga kerja di negara-negara maju selalu masuk dalam kementerian terbesar, misalnya di Jerman.

Hanif menekankan 20 persen alokasi anggaran pendidikan, yang secara keseluruhan mencapai lebih dari Rp400 triliun belum mampu menyentuh upaya pengembangan pelatihan tenaga kerja.

Sekitar Rp10 triliun yang dialokasikan bagi kementerian dan lembaga kebanyakan dialokasikan ke sekolah tinggi yang dikelola Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM.