Indonesia Jadi Importir Gula Terbesar di Dunia, Faisal Basri: Sejak Jaman Enggar Impor Gula Makin Tinggi

Oleh : Ridwan | Senin, 14 Januari 2019 - 18:30 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Caruk maruknya pergulaan di Indonesia menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan. Kali ini datang dari Ekonomo Senior INDEF Faisal Basri yang mengaku 'kaget' melihat Indonesia menjadi importir gula terbesar di dunia. 

"Saya keget, biasanya kita dibawah Amerika Serikat (AS) dan China," kata Faisal di Jakarta, Senin (14/1/2019).

Menurutnya, melonjaknya impor gula dimulai sejak tahun 2009, dan semakin meroket pada tahun 2016. "tahun 2006 mulai melonjak, namun setelah Enggar (Enggartiasto Lukita) menjabat semakin meroket," terangnya. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) impor gula sampai Oktober 2018 sebesar 4,6 juta ton. Sedangkan tahun 2016 sebesar 4,8 juta ton, dan tahun 2017 mencapai 4,5 juta ton. 

"Tahun 2008 impor gula 1 juta ton di jaman pemerintahan SBY karena BKPM menghanbur-hamburkan izin untuk gula rafinasi. Kemudian 2009 naik jadi 1,4 juta ton, 2015 sebesar 3,4 juta ton, dan mulai stabil di 4 juta ton sejak 2016," ungkap Faisal. 

Dijelaskan Faisal, kalau bicara terkait gula, garam, dan beras ada jutaan petani di belakang. "Jadi jangan main-main ada nasib jutaan petani, jangan mementingkan kepentingan segelintir orang saja. Peningkatan impor lebih cepat dari kecepatan kebutuhan, padahal impor untuk menutup kebutuhan konsumsi. Karena terlalu semangat mengimpor, stok meningkat tapi impor malah naik," paparnya. 

Faisal juga mengungkapkan kesedihannya soal harga gula di Indonesia yang tiga kali lipat lebih mahal dari gula mentah dunia.

Memang, gula yang diimpor Indonesia adalah jenis gula rafinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Namun, ujar Faisal, gula rafinasi ini seringkali merembes ke pasar untuk kebutuhan gula konsumsi. Kok bisa?

"Gula rafinasi menurut ketentuan tidak boleh dipasarkan untuk gula konsumsi, hanya boleh diizinkan impor raw sudah untuk dipakai industri makanan dan minuman (mamin). Industri mamin pemain dunia mereka tahu harga gula, mereka nggak mau dikadali, kontraknya jangka panjang," katanya. 

"Impor 4,6 juta ton (2018) kebutuhan hanya 3 juta ton, selebihnya? Mengalir ke pasar untuk gula konsumsi. Pemerintah menggunakan untuk stabilitas harga di pasar, padahal sebelumnya pemerintah mengatakan, gula rafinasi tidak boleh dipasarkan karena tidak baik bagi kesehatan, sekarang pemerintah pakai gula rafinasi untuk stabilisasi harga," demikian pernyataan Faisal.

Impor gula ini seharusnya bisa dihentikan dengan peningkatan produksi gula rafinasi di dalam negeri. Tapi Faisal mengungkapkan, pemerintah secara sengaja menghambat peningkatan produksi gula di dalam negeri.

"Kalau Anda lihat, pemerintah kasih izinnya dikasih di daerah yang nggak mungkin tanam tebu, Cilegon, Banten, kecuali Cilacap. Deli Serdang nggak ada tanaman tebu, Makassar nggak juga. Inilah kacaunya pemerintah, jadi sepenuhnya bisa dikatakan gula rafinasi ini stempel untuk berburu rente, menikmati selisih yang sangat besar antara gula Indonesia dan gula dunia," tutur Faisal.

"Berburu rente menikmati tanpa berkeringat, free rider, penunggang percuma, itu yang harus kita perangi," tegasnya.