Menakar Peta Kekuatan Rusia dan China di KTT ASEAN

Oleh : Ahmad Fadli | Kamis, 15 November 2018 - 08:00 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Absennya Presiden Donald Trump dalam KTT ASEAN di Singapura membuka peluang bagi China dan Rusia untuk menggandakan pengaruhnya di kawasan. Presiden Vladimir Putin untuk pertama kalinya menyempatkan hadir.

Saban kali Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN digelar, agenda yang disiapkan tuan rumah jarang bersifat baku. Agendanya cendrung ditentukan oleh siapa pembesar yang datang. Namun kali ini justru absennya Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping yang mendikte iklim politik dalam pertemuan tahunan tersebut.

Kedua kepala negara akan digantikan oleh petinggi nomer dua di jajaran masing-masing, yakni Wakil Presiden Mike Pence dan Perdana Menteri Li Keqiang.

Sebaliknya Presiden Rusia Vladimir Putin tidak melewatkan kesempatan melakukan lawatan perdananya di Singapura untuk ikut merayakan 50 tahun hubungan diplomatik kedua negara. Putin yang biasanya lebih mendahulukan KTT APEC yang selalu digelar pada saat yang berdekatan, kini mengirimkan Perdana Menteri Dimitry Medvedev ke Port Moresby, Papua Nugini.

Putin diyakini akan memperluas kerjasama perekonomian dengan negara-negara Asia, terutama Jepang, India dan China. Sebaliknya Beijing ingin mendorong pembahasan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yakni perjanjian dagang antara China, India, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan dan ASEAN. Jika berhasil, RCEP akan menciptakan pasar bebas untuk 3,4 miliar penduduk Bumi dengan total Produk Domestik Brutto sebesar 40% dari PDB dunia.

RCEP "akan bernilai sangat tinggi untuk memperdalam kerjasama regional dan mempromosikan sistem perdagangan internasional yang teratur dan terbuka," kata Asisten Menteri Luar Negeri China, Chen Xiadong, seperti dikutip South China Morning Post.

Absennya Trump membuka peluang bagi China untuk mempercepat proses negosiasi. Trump sejauh ini berusaha merombak berbagai perjanjian dagang agar lebih menguntungkan untuk AS. Dia antara lain berhasil menegosiasikan ulang perjanjian yang telah diratifikasi dengan Korea Selatan dan kesepakatan tripartit antara AS, Meksiko dan Kanada.

China juga mengambil langkah preventif dengan mengajak Malaysia, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam dan Malaysia membahas 'aturan bermain' di Laut China Selatan. Kawasan perairan kaya sumber daya ini menjadi sumber konflik antara Beijing dan negara-negara Asia Pasifik, termasuk Amerika Serikat. Meski demikian pembahasan tersebut diyakini belum akan membuahkan kesepakatan.

Belakangan negara-negara yang terlibat dalam adu klaim dengan China mulai melirik adidaya selain Amerika Serikat untuk meredam pengaruh Beijing di Laut China Selatan, antara lain India dan Australia. Maret silam ASEAN dan Australia menggelar pertemuan khusus untuk mempererat kerjasama multilateral, antara lain di bidang keamanan.

Hal ini diantisipasi Amerika dengan memublikasikan strategi Indo-Pasifik yang bertumpu pada India sebagai kekuatan regional dan mengacu pada strategi serupa milik Jepang. Tokyo terutama ingin mengimbangi Insiatif Jalur Sutera China yang mendorong pembangunan infrastruktur di Asia dan Afrika. Adapun AS lebih mengutamakan kebebasan di perairan Pasifik, terutama Laut China Selatan.

Sementara itu ASEAN mempertaruhkan kredibilitas seputar kehadiran pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. PBB menuding militer Myanmar memiliki "niat genosida" dalam isu Rohongya. Suu Kyi dijadwalkan bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, yang sebelumnya mengaku telah kehilangan kepercayaan pada pemenang hadiah nobel perdamaian tersebut.