Ekonomi Masih Sulit, Pabrikan Rokok Desak Kebijakan Cukai Dievaluasi

Oleh : Ahmad Fadli | Jumat, 31 Agustus 2018 - 11:39 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI) berharap agar Kementerian Keuangan dalam setiap mengambil kebijakan berkaitan dengan industri tembakau untuk lebih memperhatikan berbagai faktor antara lain kondisi ekonomi yang masih sulit dan juga suhu politik yang cenderung memanas jelang pemilu.

"Harapan kami sebagai pengusaha, Kemenkeu sepemikiran dan sepemahaman agar tidak ada generalisasi jenis kretek dan rokok putih. Kemudian kami berharap Kebijakan Cukai 2019 status quo, tetap sesuai dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2018," ucap Ketua Umum GAPPRI, Ismanu Soemiran, dalam keterangan tertulis, Kamis (30/8/2018).

Dalam PMK No 146/2017 diatur ketentuan pengurangan golongan atau layer tarif cukai. Adapun penerapan kenaikan tarif bagi industri yang memproduksi rokok putih dan rokok kretek. Caranya menghitung total kumulasi produksi keduanya, mulai tahun 2019. Penyamaan tarif cukai antara jenis rokok SKM dan SPM pada 2020, dan menghilangkan golongan I-B SKT.

Jika kenaikan tarif dan penyederhanaan layer dilakukan, tukasnya, maka akan terjadi kenaikan ganda. Yakni kenaikan regular tarif cukai dan kenaikan atas dampak penghapusan layer. Skema kenaikan tarif melalui pengurangan layer yang cukup signifikan dari 2018-2021.

''Perlu diingat kondisi industri rokok saat ini sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Bahkan hingga April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 persen. Hal itu sesuai penelitian Nielsen, April 2018,'' tuturnya.

Karenanya, dia berharap Pemerintah dapat mengkaji kembali rencana penerapan kenaikan cukai dan penyederhanaan layer cukai yang berpotensi akan menimbulkan kerugian, baik bagi industri maupun negara sendiri.

Ismanu Soemiran menyampaikan faktanya penjualan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang setor ke negara sebesar hampir 70 persen. Itu setara kurang lebih Rp 200 triliun. Maka, sesungguhnya IHT dapat disebut BUMN yang dikelola swasta. Ismanu menegaskan hidup mati industri hasil tembakau tergantung pemerintah juga.