Dolar Kian Melambung, Industri Olahan Nasional Makin Kritis

Oleh : Ridwan | Senin, 23 Juli 2018 - 12:08 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Dolar Amerika Serikat (AS) masih terus menunjukkan grafik penguatan hingga ke level Rp 15.455 (senin pagi). Hal ini sangat berbahaya bagi industri olahan dalam negeri. 

Wakil Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Industri Hulu dan Petrokimia Achmad Widjaja mengatakan, terus menguatnya Dolar AS sangat berbahaya sekali untuk industri olahan nasional. 

"Valuta asing terus melambung, industri olahan di ujung tanduk. Pasalnya, industri kita itu masih bergantung pada impor bahan baku, mulai dari lapisan industri hulu, industri intermediate dan hilir banget," jelas Achmad Widjaja kepada Industry.co.id di Jakarta, Senin (23/7/2018).

Ditambahkannya, bila ditarik dari rentang awal tahun 2018, laju rupiah terpantau dalam tren pelemahan yang cukup dalam. Awal tahun 2018, dolar AS masih berada di rentang Rp 13.300-13.400.

Ia menjelaskan salah satu cara agar rupiah menguat yaitu dengan cara menggenjot ekspor. Namun katanya, hal tersebut belum bisa dilakukan karena semua bahan baku olahan Indoensia masih 70% didatangkan dari luar negeri alias impor. 

"Apa yang mau diekspor. Kalau bahan baku kita aja semua masih impor. Intinya kita harus benahi dulu industri hulu ini," kata pria yang sering disapa AW. 

Hingga saat ini, lanjut AW, industri hulu di Indonesia masih saja mengurusi printilan di hilir contohnya seperti distribusi gas LPG. Padahal masalah hulu seperti eksplorasi wilayah baru itu belum dibenahi.

"Misalnya kita mengimpor solar luar bias Padahal di Bontang ada LNG, di Sumatera ada sumber gas alam. Seharusnya itu bisa diolah," ungkapnya. 

Lebih lanjut, AW menegaskan, inilah waktunya untuk mengambil sebuah keputusan untuk melihat bahwa industri nasional bisa tumbuh lebih dari 7 persen, dimana industri hulu inilah yang perlu dikemas secepatnya. 

"Industri hulu harus secepatnya di kemas dengan baik, jangan sampai menjadi gunjang-ganjing aksi korporasi di Pertamina," tutur AW.