Dolar Makin Perkasa, Industri Mamin Ngos-Ngosan?

Oleh : Ridwan | Kamis, 05 Juli 2018 - 12:18 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang semakin tidak stabil membuat industri makanan dan minuman (mamin) tertatih-tatih. Pasalnya, hingga saat ini industri mamin masih bergantung bahan baku impor yang kini harganya semakin meroket dikarenakan dolar masih perkasa.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Mamin) Adhi S Lukman mengakui, melemahnya nilai tukar rupiah membuat sektor industri tertatih.

"Dolar sudah menembus Rp14.500, sementara omset industri juga belum tumbuh. Jelas ini sungguh berat. Dampaknya sudah lebih dari itu," kata Adhi di Jakarta (5/7/2018).

Ditambahkan Adhi, pelaku usaha mamin tahun lalu sudah mengalami depresiasi 8 hingga 10 persen. Kondisi ini yang lantas membuat Gapmmi terpaksa menyesuaikan harga produk.

"Saat ini, bahan baku mamin masih dipasok dari luar negeri sehingga biaya membengkak. Ditambah, tarif angkutan logistik yang naik akibat harga bahan bakar minyak (BBM) yang meningkat," terangnya.

Adhi mengungkapkan, libur nasional turut andil mengerek biaya produksi. "Pengeluaran perusahaan untuk tunjangan hari raya (THR) karyawan, tidak mampu dibarengi produktivitas," tuturnya.

Adhi menyebut, pengusaha tak bisa seenaknya menaikkan harga produk lantaran butuh waktu sekitar dua bulan sebagai toleransi. Pihaknya akan menyiasati dengan beberapa cara, di antaranya mengubah ukuran produk dan mengubah bahan bungkus produk.

"Situasi ini jadi tantangan industri. Omzet kami di periode pertama tahun ini hanya 30 persen, sementara pengeluaran kami mencapai 200 persen. Ini karena banyaknya libur di bulan Juni, kami harus bayar THR untuk karyawan, sementara produktivitas tak mengimbangi," imbuhnya.

Adhi berharap ada solusi dari pemerintah untuk kembali menstabilkan nilai tukar rupiah. "Kalau kondisi seperti ini berlanjut, bukan tidak mungkin sektor industri khususnya mamin akan berada di ujung tanduk," pungkas Adhi.