Makin di Ujung Tanduk, Asosiasi Kaca Lembaran Desak Pemerintah Turunkan Harga Gas Serta Redam Impor Kaca dari Malaysia

Oleh : Ridwan | Senin, 28 Mei 2018 - 16:15 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Membanjirnya produk impor dan masih tingginya harga gas industri di Tanah Air telah membawa industri kaca nasional berada di ujung tanduk. 

Pasalnya, hingga saat ini industri kaca nasional masih belum mampu berdaya saing dengan produk dari negara-negara pesaing. 

Ketua Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengarakan, industri kaca lembaran nasional semakin di ujung tanduk, dan tidak berkembang. 

"Harga gas industri yang masih terlalu tinggi, serbuan impor yang terus meningkat, serta melemahnya rupiah yang belum bisa mendorong ekspor membuat industri ini semakin tidak bergerak," ujar Yustinus saat dihubungi Industry.co.id di Jakarta, Senin (28/5/2018). 

Ia menambahkan, sejak dikeluarkannya Perpres Nomor 40 Tahun 2016 hingga saat ini industri kaca masih belum merasakan penurunan harga gas yang telah dijanjikan. 

Padahal, lanjutnya, penurunan harga gas industri dapat menghambat deindustrialiasasi yang hingga saat ini terus berlangsung di Tanah Air. 

"Sebagai gambaran, harga gas industri di Jawa Barat hingga saat ini masih USD 9,1 per MMBTU, dan di Jawa Timur USD 8,2 per MMBTU," kata Yustinus. 

Tidak kalah gentingnya dengan harga gas, membanjirnya produk impor khususnya dari Malaysia membuat industri kaca lembaran nasional stagnan. 

Yustinus meniturkan, sejak tiga tahun terakhir permintaan kaca lembaran dalam negeri terus mengalami peningkatan. Sebagai gambaran, pada tahun 2015 kebutuhan kaca lembaran dalam negeri mencapai 675.000 ton, tahun 2016 naik menjadi 710.000 ton, dan tahun 2017 mencapai 745.000 ton. 

Namun, tambahnya, kenaikan kebutuhan kaca lembaran dalam negeri diikuti dengan meningkatnya produk impor yang masuk ke Indonesia. 

"Pada tahun 2015 impor meningkat 2,3% menjadi 15.400 ton,  di tahun 2016 sekitar 4,4% menjadi 31.000 ton, sedangkan di tahun 2017 menjadi 95.300 ton atau naik menjadi 12,8%," tetang Yustinus. 

Lebih lanjut, ia menuturkan, pada tahun 2017 impor dari Malaysia sebesar 25%, Cihina 73,5%, dan negara lainnya 1,5%. Padahal pada tahun 2016, impor dari Malaysia 0%, China 96,5%, dan negara lainnya 3,5%. Sedangkan pada tabun 2015, impor Malaysia hanya 2%, China 90,9%, dan negara lainnya 7,1%.

"Perlu dicatat bahwa impor dari Malaysia adalah produk dari dua perusahaan investasi kaca lembaran China di Malaysia," tegasnya. 

Untuk meredam banjirnya produk impor, AKLP bersama Kementerian Perindustrian tengah merumuskan sertifikasi standar nasional Indonesia (SNI) untuk produk insulated glass (kaca isolasi).

Kaca isolasi adalah kaca berlapis untuk menyerap panas, mengurangi polusi suara, dan menghindari embun. Produk ini sering dipergunakan dalam gedung bertingkat, bandara, studio musik, dan lain-lain.

Kehadiran SNI diyakini mampu membendung produk impor yang masuk ke pasaran. "Selain melindungi konsumen, SNI bertujuan untuk melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor," ungkapnya.

Selain itu, Asosiasi Kaca Lembaran juga mendesak pemerintah untuk menjalankan komitmennya terkait penurunan harga gas yang tertuang dalam Perpres Nomor 40 Tahun 2016 yang masih belum dirasakan bagi sejumlah industri. 

"Pemerintah harus segera melaksanakan Perpres tersebut untuk meningkatkan daya saing industri kaca lembaran nasional yang kian terpuruk," pungkas Yustinus.