Sepenggal Kisah dari Sulawesi Tengah, Selamat Jalan Pak Probosutedjo

Oleh : Joko Intarto | Senin, 26 Maret 2018 - 15:21 WIB

INDUSTRY.co.id - Peristiwa ini sebenarnya sudah terjadi cukup lama. Kira-kira tahun 1994. Tiba-tiba kejadian itu terlintas dalam ingatan saya. Gara-gara membaca berita wafatnya Pak Probo Soetedjo. Adik almarhum HM Soeharto, mantan presiden RI.

Saya tidak kenal dekat dengan Pak Probo. Seumur-umur hanya bertemu dua kali saja. Dua-duanya terjadi di kota Palu, Sulawesi Tengah. Pada rentang tahun 1994 itu.

Pertemuan pertama terjadi saat Pak Probo berkunjung ke Luwuk. Kabupaten di Sulawesi Tengah yang dikenal sebagai daerah penghasil mutiara alam bermutu tinggi. Banyak pengusaha dari Jakarta membuka usaha mutiara di sana. Berkongsi dengan perusahaan Jepang.

Pak Probo saat itu tidak hendak berbisnis mutiara. Dia datang untuk berinvestasi di perkebunan pisang cavendis. Konon serat batang pisang itu digunakan untuk bahan baku kertas uang. Juga kertas berharga lainnya.

Pak Probo sempat datang ke kantor koran "Mercusuar" yang dulu saya pimpin. Hanya sebentar. Pak Probo menjemput seorang wartawan saya untuk diajak meliput lokasi perkebunan tersebut.

Perhatian Pak Probo dengan wartawan memang cukup istimewa. Karena itu, dia merasa perlu menjemput sendiri. Dan mengajak wartawan naik mobilnya selama peliputan.

Sepulang dari liputan, wartawan saya melapor. Dia menyerahkan jam tangan pemberian Pak Probo. Sebagai kenang-kenangan.

Jam tangan itu saya terima. Kemudian saya serahkan kembali kepada wartawan tersebut. "Sampaikan salam kepada Pak Probo. Jam tangan sudah diterima kantor. Sekarang Anda menerima jam tangan itu dari kantor. Bukan dari Pak Probo," kata saya.

Beberapa bulan kemudian Pak Probo datang ke kantor saya lagi. Masih dalam urusan perkebunan pisang cavendis itu. Mengajak wartawan saya lagi.

Sembari menunggu wartawan saya yang sedang bersiap-siap, Pak Probo membaca koran "Mercusuar". Saat itu koran saya sedang menggalang dana sosial. Untuk mengoperasi Sapiah yang terkena tumor wajah

Sebuah tumor menggelantung di antara kedua matanya. Beratnya 4 Kg.

Sapiah tidak sanggup berobat. Dia penduduk miskin di Parigi. Desanya di pinggir hutan. Pekerjaan Sapiah hanya pencari kayu bakar.

Pak Probo tiba-tiba berkata, "Tolong berapa pun biayanya untuk ibu Sapiah, saya yang akan membayarnya."

Saya tentu saja terkejut. Waktu itu, biayanya sekitar Rp 40 juta. Untuk mendapatkan biaya sebesar itu, saya harus mengumpulkan dana dari para dermawan.

Tidak gampang. Saya inisiasi beberapa program. Mulai pengumpulan sumbangan sampai menjual tiket bioskop untuk tujuan amal.

Uang Rp 40 juta rasanya sulit sekali. uang senilai itu, memang besar pada zamannya. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika saat itu kalau tidak salah masih Rp 1.800.

Sudah dua bulan, uang baru terkumpul tak sampai setengahnya. Tiba-tiba Pak Probo menyanggupi pembayaran seluruh biayanya.

Seminggu kemudian, Pak Probo menepati janjinya. Dia transfer dari Jakarta. Tidak hanya Rp 40 juta. Tapi Rp 50 juta. Selebihnya untuk biaya pengobatan pasca operasi.

Seminggu kemudian, Sapiah dioperasi di RS Tentara Palu. Sukses. Dokter-dokternya dari Jakarta, Surabaya dan Makassar.

Sapiah pun menjadi "bintang". Wajahnya sumringah. Saat ditayangkan di televisi.

Hari ini Pak Probo telah pergi, menghadap illahi Robbi. Selamat jalan Pak Probo.

Penulis adalah Joko Intarto, Praktisi Media dan Budayawan.