Pemerintah Belum Basmi Defisit Perdagangan Secara Cepat

Oleh : Wiyanto | Jumat, 16 Maret 2018 - 07:42 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta-Center of Reform on Economics (CORE) menyebutkan faktor-faktor penyebab defisit. Ini pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah. Setidaknya ini penyebabnya defisit.

“Defisit perdagangan dalam tiga bulan terakhir setidaknya didorong oleh dua faktor, yakni pelebaran defisit migas dan penyempitan surplus nonmigas,” ujar  Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif CORE di Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Menurut dia, pelebaran defisit migas terjadi akibat peningkatan impor migas yang didorong oleh kenaikan harga minyak dunia. Pelebaran defisit migas sebenarnya sudah terjadi sejak bulan Februari 2016, sejalan dengan harga minyak yang mulai bergerak naik dari USD 30/barel pada Januari 2016 menjadi USD 64/barel pada Februari 2018, bahkan sempat menyentuh di atas USD 70/barel pada Januari lalu. Akibatnya, defisit migas yang pada Februari 2016 hanya USD 10 juta meningkat menjadi USD 870 juta pada Februari 2018, atau meningkat 8600%.

Di sisi non-migas, lanjut dia,  ekspor manufaktur yang sejak Januari 2016 mengalami tren kenaikan, dalam tiga bulan terakhir mengalami kontraksi sebesar 11%, dari USD 11,5 miliar (November 2017) menjadi USD 10,3 miliar (Februari 2018). Ekspor tambang yang mengalami peningkatan sejak paruh kedua 2016, dalam dua bulan terakhir ikut terkoreksi 15,3% dari USD 2,7 miliar (Desember 2017) menjadi USD 2,3 miliar (Februari 2018). Bahkan, ekspor pertanian mengalami penurunan yang lebih tajam sebesar 25,6% dalam tiga bulan terakhir.

Ia katakan, manakala ekspor manufaktur tumbuh lemah 12% dalam setahun terakhir (Maret 2017 – Februari 2018), impor tumbuh lebih cepat sebesar 18,7% pada periode yang sama. Bahkan, dalam tiga bulan terakhir pertumbuhan impor mencapai 23,7%. Memang, peningkatan impor ini sebagian besar (75%) didorong oleh belanja bahan baku dan bahan penolong, yang merupakan indikasi terjadinya peningkatan aktivitas industri manufaktur di dalam negeri. Sayangnya, hal ini juga menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor.

Meskipun dalam beberapa bulan ke depan ada potensi untuk kembali surplus, ia menambahkan, struktur neraca perdagangan masih sangat rentan mengalami defisit karena masih lemahnya peran ekspor manufaktur. Apalagi, defisit migas masih cenderung melebar karena dorongan kenaikan harga minyak dan peningkatan volume impor migas antisipasi lebaran. Sementara ekspor komoditas sawit yang menjadi andalan utama Indonesia menghadapi berbagai ancaman proteksi di berbagai negara, khususnya Eropa, Amerika, bahkan negara importir terbesar India.

“Kondisi ini sekali lagi menjadi warning bagi pemerintah untuk segera menempatkan upaya peningkatan daya saing industri manufaktur secara komprehensif sebagai agenda utama ke depan. Bukan sekedar untuk memperkuat neraca perdagangan, tetapi juga untuk mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi,” katanya.