BKPM: TKA di Indonesia Masih Sangat Minim

Oleh : Herry Barus | Jumat, 13 Januari 2017 - 04:35 WIB

INDUSTRY.co.id - Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong meminta masyarakat tidak termakan isu mengenai tenaga kerja asing (TKA) serta mengingatkan agar diskusi mengenai masalah itu dilakukan secara proporsional.

Kekhawatiran terkait penggunaan TKA yang berlebihan dan tidak proporsional dinilai kontra produktif terhadap upaya pemerintah dalam menarik investor asing.

"Jangan kita menjadi terobsesi dengan isu TKA ini sehingga kita malah kehilangan fokus pada isu-isu yang sebetulnya lebih kritis, lebih penting, seperti upaya untuk meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (12/1/2017.

Tom, sebagaimana ia kerap disapa, mengatakan porsi TKA di Indonesia masih sangat minim bila dibandingkan dengan penggunaan tenaga kerja asing oleh negara-negara tetangga.

"Jadi sangat jauh, di bawah negara tetangga, negara saingan kita seperti Singapura dan Thailand. Singapura sampai lebih dari 20 persen dari pekerjanya adalah TKA, kita 0,1 persen. Malaysia pun di atas lima persen, Thailand pun juga di atas lima persen, kita baru 0,1 persen, jadi kita masih ketinggalan dibanding negara saingan kita dalam memanfaatkan TKA," sebutnya.

Menurut Tom, penggunaan TKA yang jumlahnya masih kecil tidak perlu menimbulkan kekhawatiran yang berlebihan.

Sebagai bangsa yang besar, tidak sepatutnya rakyat Indonesia takut dengan orang asing di tanah kelahiran sendiri.

"Sementara ada 6,5 juta orang Indonesia di luar yang menjadi TKA di negara lain dan mampu bersaing di sana, masa kita nggak mampu bersaing di negara sendiri? Ya kan nggak masuk akal," ungkapnya.

Tom juga menilai berbagai pihak harus mengedepankan semangat positif, transparan, serta komunikatif dalam dialog publik soal segala hal termasuk soal TKA.

"Kita harus mulai jujur, soal infrastruktur kita, soal regulasi kita yang masih tumpang tindih dan berlebihan, makanya kita masih harus terus rajin meneliti regulasi. Bagaimana negara-negara lain itu masih lebih mudah berbisnis daripada berbisnis di Indonesia," sebut mantan Menteri Perdagangan itu.

Pihaknya akan ikut melakukan penertiban TKA yang melanggar aturan dengan memastikan ketaatan investor dalam koridor regulasi dan hukum yang ada.

"Kami juga akan paling kencang untuk menertibkan hal itu," tegasnya.

Tom kembali menjelaskan bahwa penggunaan TKA dalam suatu proyek investasi dilakukan dalam suatu periode tertentu terutama di awal proses konstruksi investasi.

Penggunaan TKA tersebut cukup penting untuk menjamin kelangsungan proyek investasi yang akan dilakukan oleh investor.

Jika dihitung berdasarkan kalkulasi bisnis dari sisi biaya operasional, mendatangkan TKA jauh lebih mahal daripada menggunakan tenaga kerja lokal.

"TKA itu hanya sementara karena tingginya biaya dan beratnya upaya untuk menghadirkan TKA. Pemilik proyek atau investor itu pasti sesegera mungkin memulangkan TKA-nya ke negara asal, lebih cepat lebih baik," katanya.

Umumnya, penggunaan TKA di suatu proyek investasi dilakukan pada tahun pertama atau tahun kedua.

"Di tahun ketiga sudah mulai berangsur-angsur berkurang, di tahun keempat lebih banyak lagi yang dipulangkan. Dan mereka mulai pelan-pelan mengalihkan kendalinya ke Tenaga Kerja Indonesia," sebut Tom.

Berdasarkan target realisasi investasi 2016 sebesar Rp594,8 triliun, diperkirakan akan ada penyerapan 1,25 juta TKI langsung pada periode tersebut.

Dalam catatan Antara, hingga kuartal III 2016, investasi di sektor sekunder menyumbang 60 persen lapangan kerja baru yang telah menyerap 572.000 TKI langsung, diikuti oleh sektor primer (24 persen) dan sektor tersier (16 persen).

Sektor investasi periode Januari-September 2016, lapangan kerja baru banyak tercipta di sektor tanaman pangan dan perkebunan, industri tekstil, serta industri makanan, dengan porsi masing-masing 17 persen, 13 persen dan 12 persen.

Data TKI langsung diperoleh melalui laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) perusahaan per kuartal dan belum mencakup lapangan kerja tidak langsung yang dihasilkan untuk mendukung kegiatan investasi, misalnya jasa akomodasi, jasa transportasi, katering, binatu atau "laundry", maupun kegiatan usaha lainnya di sekitar proyek investasi.(Hrb)