Setara Institute Sayangkan Tindakan Diskriminasi Atas Nama Agama

Oleh : Herry Barus | Selasa, 06 Februari 2018 - 08:04 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta - Ketua SETARA Institute, Hendardi menyatakan keprihatinannya karena masih terus berulangnya tindakan diskriminasi dan intoleransi dengan menggunakan sentimen keagamaan.

"Tindakan main hukum sendiri semacam itu mesti kita baca sebagai ancaman terhadap harmoni dan kedamaian sosial di tengah kebinekaan Indonesia. Kita harus terus menyatakan keprihatinan atas terus berulangnya diskriminasi dan intoleransi serta tindakan vigilante menggunakan sentimen keagamaan terhadap yang lain dengan identitas keagamaan yang berbeda,” ," kata Ketua Setara Institute Hendardi di Jakarta Senin (5/2/2018)

Sebelumnya acara bakti sosial Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta yang digelar pada Senin, 29 Januari 2018, harus dibubarkan oleh Ormas yang menamakan dirinya Front Jihad Islam (FJI). Mereka menuding pihak gereja memakai bakti sosial dengan kedok kristenisasi.

Lebih lanjut Hendardi menyatakan keprihatinannya atas terus berulangnya diskriminasi dan intoleransi serta tindakan vigilante menggunakan sentimen keagamaan terhadap yang lain (liyan) dengan identitas keagamaan yang berbeda.

SETARA Institute tambah Hendardi, sangat menyayangkan pernyataan otoritas pemerintahan negara di tingkat lokal.

Pertama, Sultan Hamengkubuwono X mengenai pembatalan acara karena disatroni ormas tersebut. Sultan menyatakan ketidaksetujuan terhadap bakti sosial yang mengatasnamakan gereja di tengah lingkungan warga muslim, sebab hal itu berpotensi memicu gesekan.

Kedua, pernyataan Kepala Polisi Resor Bantul DI Yogyakarta, AKBP Sahat M Hasibuan. Kepada media, Kapolres mengatakan bahwa penolakan bakti sosial itu terjadi karena kurangnya komunikasi pihak Gereja dengan masyarakat.

Hendardi menilai pernyataan Gubernur dan Kapolres tersebut jelas-jelas problematik.

"Pertama, sikap dalam ekspresi verbal tersebut jelas menyalahkan pihak korban (blaming the victim). Ini sesungguhnya pola lama respons pemerintah dan aparat atas berbagai kasus intoleransi, diskriminasi, pelanggaran atas hak-hak minoritas keagamaan dimana pemerintah cenderung menjadikan korban sebagai objek blaming, scapegoating (pengkambinghitaman), bahkan kriminalisasi," kata Hendardi.

Kedua, pernyataan kedua otoritas negara di tingkat lokal tersebut menunjukkan kuatnya favoritisme negara atas kelompok warga tertentu sekaligus penyingkiran (exclusion) kelompok lainnya. Aparat negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas sebagai prasyarat tegaknya demokrasi (democracy requires minority rights).

Di pihak lain, SETARA justru mengapresiasi kuatnya perspektif dan standing position toleransi dan kebinekaan yang ditunjukkan Bupati Bantul, Suharsono. Beliau memberikan pernyataan kuat bahwa "Semua agama yang diakui di Indonesia harus dihormati. Tidak bisa suatu ormas melarang kegiatan dari agama yang diakui sepanjang tidak melanggar aturan berlaku."