Pengurangan PNBP Tak Bisa Turunkan Harga Gas Sesuai Perpres

Oleh : Ridwan | Selasa, 09 Januari 2018 - 13:24 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Pemerintah tengah mencari cara agar harga gas industri bisa turun dari sekitar US$ 9 per million metric british thermal unit (MMBtu). Salah satu caranya adalah mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor gas. Namun, langkah tersebut tak akan menurunkan harga gas secara signifikan.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, dengan pemangkasan PNBP, harga gas hanya akan turun hingga US$ 0,7 per MMBtu atau sekitar 7-8% dari harga saat ini yang sekitar US$ 9 per MMBtu.

Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, dengan mengurangi PNBP, harga gas bisa menjadi US$ 6,3-7 per MMBtu di tingkat hulu. Namun, industri pengguna pada akhirnya masih mendapatkan harga di kisaran US$ 8 per mmbtu.

"Harga sebesar itu masih belum sesuai Perpres penurunan harga gas," ujar Sigit di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia menambahkan, penghitungan besaran pemangkasan PNBP menjadi wewenang Kementerian ESDM. Yang terpenting, harga gas bisa sesuai Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi.

Menurutnya, saat ini, industri yang lahap energi masih mendapatkan harga gas berkisar US$ 9-10 per mmbtu.

"Kami belum punya hitungan yang detail, karena yang punya hitungannnya ESDM. Kami tunggu dari ESDM agar bisa mengurangi toll fee-nya," kata Sigit.

Alternatif pemangkasan PNBP, menurut Sigit, paling memungkinkan dibandingkan dengan impor gas, yang sebelumnya pernah diusulkan.  Pasalnya, untuk impor LNG infrastrukturnya menyalurkan ke masing-masing perusahaan harus siap. Penyediaan infrastruktur ini membutuhkan investasi yang cukup besar.

"Harus ada floating terminal, siapa yang mau investasi itu? Pembangunannya juga tidak bisa cepat. Kami maunya harga gas bisa lebih kompetitif. Sebab, kalau kita lihat persaingan dengan negara-negara lain ketat sekali, dan harga gas di negara pesaing lebih kompetitif," tutur Sigit.