Menelisik Langkah Menuju Swasembada Garam 2020

Oleh : Dhiyan W Wibowo | Sabtu, 16 Desember 2017 - 10:47 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Kelangkaan garam pada awal tahun ini menjadi pelajaran berharga buat pemerintah, untuk bisa mendorong industri garam nasional yang efisien dan berproduktivitas tinggi. Ekstensifikasi lahan menjadi cara solusi, didukung penerapan teknologi pengolahan yang mampu mempersingkat waktu produksi.

Beberapa waktu lalu masyarakat di dalam negeri sempat dikejutkan dengan melonjaknya harga garam. Bagi para konsumen rumah tangga, yang satu bulannya hanya membutuhkan maksimal seperempat kilogram garam, kenaikan hingga tiga kali lipat tidak ada artinya.

Namun buat para pelaku usaha yang menggantungkan bisnisnya pada pasokan garam yang cukup besar, kenaikan hingga tiga kali lipat berarti akan menekan tingkat margin keuntungan atau bahkan merugi.

Kendati Indonesia adalah negara dengan garis terpanjang kedua setelah Kanada, memang bukan berarti negeri ini bakal berlimpah dengan produksi garam. Sejumlah karakteristik tertentu pada garis pantai Indonesia memang tak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai lahan tambak garam.

Atau sejumlah kawasan pantai di daerah tertentu kini telah menjadi lahan usaha perikanan atau bahkan pariwisata.

Menillik pada kemampuan dan kapasitas produksi garam di dalam negeri, dibandingkan total kebutuhan garam nasional yang mencapai 3,2 juta ton pada 2017, industri garam dan petani lokal hanya mampu memberikan pasokan separuhnya saja.

Baru-baru muncul harapan bahwa panjangnya garis pantai Indonesia bakal bisa diparalelkan dengan kemampuan memproduksi dan menyediakan garam yang cukup buat masyarakat.

Kendati tak melulu semua garis pantai akan dikonversi menjadi ladang garam, namun salah satu solusi dari peningkatan produksi garam nasional adalah perluasan lahan produksi dan pengolahan garam.

Rencana perluasan lahan pertanian garam ini rencananya akan dimulai dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Ke depannya, bisa saja kawasan NTT ini dijadikan sentra kawasan industri garam jika program yang dikembangan pemerintah ini bisa berjalan.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan dalam satu kesempatan pernah mengemukakan bahwa terdapat kurang lebih 5.000 hektare lahan di Kupang yang kondisinya terlantar. Lahan tersebut memiliki potensi besar sebagai untuk dijadikan tempat produksi sekaligus pengolahan garam.

"Tadi kita mau tinjau daerah yang di Kupang ada 5.000 hektare, supaya kita bikin industri garam saja sekalian," kata Luhut kepada wartawan di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta, beberapa waktu lalu.

Upaya perluasan dan pengembangan lahan produksi garam di NTT tersebut, bakal mendapatkan sokongan berupa teknologi dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang telah menemukan metode pengolahan dan waktu produksi yang lebih singkat.

"Teknologi dari BPPT, pengerjaannya dari 15 hari jadi 4 hari saja pengerjaan garam dan lebih bagus, kata Luhut.

Soal metode pengolahan tersebut, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Unggul Priyanto sempat menyatakan bahwa BPPT mampu mengembangkan teknologi untuk memproduksi garam lebih efisien dan lebih cepat dibandingkan dengan cara tradisional.

Dengan cara biasa, proses pembentukkan garam bisa memakan waktu 14 hari dan sangat bergantung pada cuaca. Sementara lewat teknologi yang dikembangkan BPPT proses produksi garam bisa dipersingkat menjadi hanya 4 hari saja.

Metode dan teknologi yang akan digunakan BPPT adalah dengan mengalirkan air garam dalam formasi berputar untuk meningkatkan konsentrasi garam, yang akan dibarengi dengan masuknya pasokan air secara kontinu.

"Dengan adanya lahan untuk meningkatkan konsentrasi kadar garam, tinggal kristalisasi saja dalam waktu empat hari, kata Unggul.

Namun demikian ada prasyarat untuk dapat menggunakan teknologi tersebut, yakni ketersediaan lahan yang cukup luas, untuk menampung air laut yang diputar.

Setidaknya, menurut Unggul, dibutuhkan lahan induk seluas 400 hektare, lalu dua unit waduk dan 300 hektare lahan untuk evaporasi agar pemanfaatan teknologi ini bisa maksimal.

Dengan menggunakan metoda yang dibuat oleh BPPT, nantinya kondisi cuaca tidak akan mempengaruhi intensitas produksi garam.

Soal lokasi yang bakal dimanfaatkan untuk penerapan teknologi tersebut, Dirjen Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Brahmantya Satyamurti menyebut adanya kawasan di Nagekeo yang dinilai terlantar, dan bisa segera diproses untuk menjadi lahan pengolahan oleh PT Garam (persero).

Sejauh ini, PT Garam baru memiliki lahan pengolahan garam di NTT seluas 400 hektare, dan akan diperluas. Di luar Nagekeo, NTT, pemerintah juga tengah mempertimbangkan untuk melakukan ekstensifikasi lahan produksi garam di Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Sulawesi Selatan.

Setidaknya tiga kawasan tersebut memiliki lahan dan iklim yang ideal bagi pengolahan garam.

Asisten Deputi Sumber Daya Mineral Energi dan Non Konvensional, Kemenko Kemaritiman, Amalyos Chan, dalam rapat kordinasi identifikasi lahan garam di Makassar, Sulawesi Selatan baru-baru ini mengatakan, beberapa kabupaten memang mempunyai iklim curah hujan rendah dengan waktu kemarau panjang, ditambah kondisi angin yang mendukung.

Contoh di NTT musim kemarau mereka 8 bulan. Selain itu banyak investor kami identifikasi ada sekitar 13 ribu investor," ujar Amalyos Chan seperti dilansir Detik.com.

Upaya ekstensifikasi lahan ini memang bakal menggandeng pihak swasta sebagai investor. Sehingga pemerintah pun harus mampu menjamin agar investor tak ragu dalam pengurusan izin lahan.

Salah satu langkah pemerintah, kata Amalyos, adalah meminta bantuan Badan Pertanahan Nasional untuk memetakan potensi lahan, dan melakukan koordinasi terkait status lahan.

Sementara itu di Sulawesi Selatan terdapat empat wilayah yang dinilai mendukung upaya ekstensifikasi lahan produksi garam. Amalyos menyebut Kabupaten Jeneponto, Kabupaten Takalar, Kabupaten Pangkep dan di Kepulauan Selayar.

Saya dapat informasi dari 1.600 hektare lahan, baru 600 hektare yang digunakan. Tetapi pada saat panen optimal kemarin bisa menghasilkan 123 ribu ton garam. Itu minimal 123 ribu ton lho," ujar Amalyos.

Langkah menuju ekstensifikasi ini tentunya harus didukung kementerian dan lembaga terkait. Untuk itu akan digelar konsolidasi dengan empat kementerian di bawah Kemenko Maritim bersama Badan Pertanahan wilayah Sulawesi Selatan untuk membahas rencana pengelolaan potensi lahan 1.600 hektare tersebut.

Nah di tengah upaya ekstensifikasi oleh pemerintah, baru-baru ini didapatkan kabar bahwa produksi garam nasional hingga pekan pertama November 2017 diprediksi sebesar 1,2 juta ton.

"Produksi total sampai saat ini mencapai 1,2 juta ton sudah dihitung dengan milik PT Garam," ujar Ketua Asosiasi Petani Garam Rakyat Indonesia (APGRI), Jakfar Sodikin seperti dikutip Kontan.co.id.

Angka tersebut menurut Jakfar dinilai masih dapat memenuhi kebutuhan garam hingga Februari 2018. Sementara musim panen pada tahun 2018 diperkirakan berlangsung pada bulan Juni 2018.

Ia juga memaparkan bahwa kelangkaan garam akibat gagal panen seperti tahun 2017 tidak akan terjadi pada tahun depan.