LAPI ITB Gelar Kuliah Umum Pandangan Baru Generasi Millenial Tentang Polistirena

Oleh : Chodijah Febriyani | Selasa, 21 November 2017 - 17:45 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Pada kuliah umum bertemakan Styrofoam dalam Kehidupan Sehari-hari dan Pendayagunaan Sampah Polistirena, Ir. Akhmad Zainal Abidin, M.Sc., Ph.D. Tenaga Ahli dari Lembaga Afiliasi Perguruan Tinggi dan Industri (LAPI) ITB membagikan pandangan baru tentang polistirena (biasa dikenal dengan Styrofoam) baik dalam penggunaan maupun pendayagunaan sampahnya.

Serta, memaparkan fakta-fakta yang selama ini tidak diketahui secara luas oleh masyarakat tentang bahan yang terbuat dari monomer stirena.

Polistirena atau yang sering disebut Styrofoam merupakan bahan utama dari berbagai produk yang sudah sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari, antara lain kemasan makanan dan pembungkus elektronik. Penggunaan kemasan makanan dari polistirena ini menjadi kontroversi ketika banyak orang percaya bahwa bahan utama yang secara ilmiah dikenal dengan stirena tidak aman untuk kesehatan dan memberi dampak buruk bagi tubuh manusia.

Stirena sendiri adalah zat kimia yang terdapat dalam makanan pokok yang biasa dikonsumsi seperti stroberi, kopi, dan kacang. “Jumlah stirena yang ada dalam kemasan makanan yang terbuat dari polistirena adalah 0 – 39 ppm (part per million). Jumlah ini sama dengan yang terkandung dalam kayu manis, daging sapi, biji kopi, stroberi, kacang dan tepung yang kita konsumsi langsung sehari-hari,” terang Zainal.

Kemasan makanan dari polistirena banyak digunakan oleh pedagang makanan di pinggir jalan. Kemasan ini tidak hanya dapat menahan panas dan dinginnya makanan, menjaga higienitas, tetapi juga kemasan ini lebih murah dibandingkan dengan pembungkus makanan lainnya. Namun, para aktivis lingkungan aktif meneriakkan soal produk ramah lingkungan dan meminta bahan ini diganti dengan bahan lain, seperti kemasan berbahan dasar kertas.

Walau pada faktanya, kertas yang kelihatan lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan ternyata justru sebaliknya. “Kertas, yang sering dipakai sebagai substitusi kemasan makanan dari polistirena memberi kesan lebih ramah lingkungan. Namun pada faktanya, kemasan berbahan dasar kertas memberi dampak buruk yang lebih besar terhadap lingkungan. Bukan hanya soal banyaknya pohon yang ditebang, melainkan juga kertas pembungkus makanan tersebut pada hakikatnya berlapis plastik yang membuatnya susah untuk didaur ulang.” terang Budi Sadiman.

“Ramah lingkungan itu bukan lagi persoalan mana yang terurai lebih cepat oleh alam, tetapi mana yang siklus atau daur hidupnya lebih ramah lingkungan, mulai dari bahan baku, cara produksi, penggunaan produknya, sampai pendaur-ulangan sampahnya adalah yang paling sedikit memakan energi, tidak menimbulkan pemanasan global, dan sumber daya alam yang dipakai tidak berlebihan” kata Zainal.

Ia juga menambahkan bahwa kemasan makanan polistirena terdiri dari 10 persen stirena dan 90 persen udara yang membuatnya menjadi kemasan plastik paling murah. “Sebenarnya, polistirena adalah material organik. Ia terbentuk dari karbon dan hidrogen. Sebuah material kita defenisikan organik jika terdiri dari unsur karbon, hidrogen, dan oksigen.”

Kemasan yang murah bukan hanya menolong para pedagang kaki lima, tetapi juga konsumen. Jika para pedagang harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk kemasan, maka mereka akan membebankan pengeluaran tersebut kepada konsumen, agar keuntungan mereka tidak berubah.

Hal ini akan berdampak pada harga makanan yang semakin tinggi, dan akan menyusahkan masyarakat kelas bawah. Seandainya kita mengganti kemasan menjadi berbahan dasar kertas, maka harga makanan akan meningkat Rp2.000 – Rp5.000. Hal ini juga akan mempengaruhi angka penjualan, karena konsumen akan ragu membeli makanan kali lima yang mahal.

Hal yang sama juga disampaikan oleh Nadia, mahasiswi jurusan Desain Produk ITB tingkat akhir ini mengaku terkesan dengan kuliah umum yang ia ikuti karena memberinya pandangan baru yang ilmiah tentang kemasan makanan polistirena.

“Sebelumnya, saya percaya bahwa polistirena tidak baik buat kesehatan karena orang-orang bilang begitu, tapi setelah ikut kelas ini, saya jadi tahu bahwa ternyata tidak berbahaya seperti apa yang dikatakan orang-orang. Hal
ini berdasarkan data ilmiah dan fakta yang disajikan tadi,” katanya, Nadia.