Segenggam Pasir dari Ketapang

Oleh : Anab Afifi, CEO Bostonprice Asia | Rabu, 08 November 2017 - 07:31 WIB

INDUSTRY.co.id - Tanyakan kepada pasir dan air Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang, Banten, yang menjadi saksi bisu atas peristiwa pilu 72 tahun lalu. Deru ombaknya mengabarkan pesan dan cerita tentang seorang lelaki terpandang yang malang. Peristiwa yang nyaris hilang ditelan ombak.

Aku ingin sekali membagikan kisahnya kepada kalian, anak-cucuku. Agar kalian juga tahu sepenggal kisah nestapa diantara gemuruh sorak-sorai hari kemerdekan 17 Agustus 1945.

Sejujurnya, aku hanyalah lelaki kampung di pinggiran Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang yang sekarang masuk wilayah Banten. Walau jarak antara Banten dan Ibu Kota hanya terpaut 30 menit perjalanan, aku tidak pernah tahu apa pun kehidupan Jakarta pada masa perjuangan kemerdekaan 1945. Yang kutahu hanyalah laut yang maha luas. Ombaknya yang keras dan ikan yang harus kutangkap sebanyak-banyaknya untuk makan anak dan istriku.

Jumadi, namaku.

Baiklah. Aku akan memulai kisah ini dari kejadian di suatu sore di bulan Oktober 1945. Seperti biasa sebelum berangkat melaut, aku mampir di warung kopi. Saat itulah aku mendengar orang-orang membicarakan bahwa Pemerintah RI di Tangerang yang dipimpin oleh Bupati Agus Padmanegara, dihancurkan oleh Usman. Dari pembicaraan mereka aku tahu bahwa Usman adalah komunis yang melancarkan gerakan bawah tanah di Tangerang. Usman dan komplotannya menolak Pemerintah RI.

Mendengar namanya saja membuatku ngeri. Seperti kelelawar malam yang haus darah. Usman membentuk sebuah komplotan bernama Laskar Ubel- Ubel Hitam. Usman dan komplotannya melakukan aksi teror dengan membunuh, merampok harta penduduk Tangerang, dan sekitarnya seperti di Mauk, Kronjo, Kresek, dan Sepatan.

Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, pada 12 Desember 1945, Usman dan komplotannya membubarkan aparatur pemerintah tingkat desa sampai kabupaten. Puncaknya, mereka membunuh pejabat penting di Mauk.

Delapan hari kemudian, di pagi itu atau 20 Desember 1945, terjadilah apa yang tak pernah terbayangkan oleh nalar dan akal sehatku. Matahari belum begitu tinggi. Kira- kira masih pukul 08.30 WIB. Dari kejauhan di balik semak pantai, aku lihat salah satu komplotan Usman bernama Mujitaba, memancung kepala seorang lelaki di tepi pantai Ketapang, Mauk, Tangerang. Jasadnya kemudian dilarung ke laut dan hilang. Bergidik bulu romaku menyaksikan hal itu. Kerongkongan ini tercekik seketika.

Aku tidak tahu siapa orang yang dipancung itu. Sungguh malang nasibnya. Aku hanya menduga pastilah ia orang yang sangat dimusuhi komplotan Usman.

Baru tujuh tahun kemudian, semua menjadi jelas. Ada orang-orang penting dari Jakarta datang ke Mauk. Mereka menelisik dan bertanya kepadaku tentang kejadian di pagi itu. Kata mereka, ia orang terpandang. Pejabat penting Pemerintah RI bernama Otto Iskandar Dinata. Ternyata, Otto adalah Menteri Pertahanan RI pertama. Dari orang-orang kota itu aku juga jadi tahu, Otto merupakan salah satu pengurus Budi Utomo dan salah satu yang berjasa dalam mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Apa tindakan pemerintah setelah mengetahui bahwa orang itu ternyata pejabat tinggi negara bernama Raden Otto Iskandar Dinata, aku tidaklah mengikuti. Aku hanya tahu saat itu keluarga Otto mengambil gundukan pasir dari Pantai Ketapang, Mauk. Kata orang-orang, untuk dikubur di Makam Pahlawan, Bandung. Itu dilakukan karena jasad Otto tak ditemukan.

Dari berita yang aku baca, menjelang akhir 1952, warga Bandung menyaksikan pemakaman kembali tokoh Pasundan, Otto Iskandar Di Nata. Disebut pemakaman kembali karena jenazahnya sebetulnya tidak pernah ditemukan.

Sentot Iskandar Di Nata, salah satu putra Otto, tiba di Bandung dengan memanggul sebuah peti berisi pasir dan air laut sebagai simbol jenazah Otto. Pasir dan air laut itu dimasukkan ke dalam peti diiringi doa seorang Penghulu Jaksa Tangerang. Dalam rombongan terdapat Menteri Perhubungan Djuanda, Ir. Ukar Bratakusumah, Dr. Djungjunan, serta Letnan Kolonel Sukanda.

Peti Jenazah berisi pasir dan air ini dimakamkan pada hari Minggu, 21 Desember 1952 di Taman Bahagia, di daerah Lembang. Pemakaman dimulai pukul 10.00 pagi, dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Peti diangkut oleh sejumlah pemuda berpakaian putih-putih. Para sanak saudara Otto berjejer di bawah bendera setengah tiang diapit oleh panitia.

Hingga kini, anak cucu Otto, para peziarah dari berbagai penjuru Indonesia, hanya bisa menziarahi air dan pasir Pantai Mauk yang menjadi saksi kebengisan gerombolan PKI Ubel-Ubel hitam. Bagaimanapun, pasir dan air pantai Mauk, adalah satu-satunya saksi. Hanya pasir dan air pantai itu yang bisa dihadirkan di makam Otto.

Aku bersyukur menjadi orang yang kebetulan menyaksikan kejadian naas 72 tahun lalu. Mungkin, demikian cara Tuhan menyingkap tabir kebenaranya dengan sebuah kebetulan.

Kebenaran memang sering memunculkan sosoknya secara misterius, sebagaimana juga kejahatan yang akan menampakkan wajahnya dengan cara tidak terduga._

Ketakterdugaan dan ketidak sengajaanku menyaksikan peristiwa itu ternyata telah menyelamatkan sejarah. Walau hanya melalui segenggam pasir Pantai Mauk.

Dan entah apa yang bisa dicatat tentang kepergian Otto tanpa ketakterdugaan kesaksianku itu. Ia pasti hanya tinggal misteri ditelan deru ombak Pantai Ketapang. (*)

Penulis adalah Anab Afifi, (Ayat-ayat yang Disembelih 2017)