Soal Pengembangan Kawasan Industri, Indonesia Tengoklah Malaysia

Oleh : Arya Mandala | Minggu, 05 November 2017 - 11:19 WIB

INDUSTRY.co.id - Malaysia, Tak perlu pergi jauh untuk melihat dan belajar pada negara yang telah lebih awal menjadikan industri sebagai penopang utama perekonomiannya. Negeri tetangga bernama Malaysia salah satunya dengan target menjadi negara maju pada tahun 2020.

Bagi negeri Malaysia, kawasan industri sudah mendapat perhatian khusus dari pemerintah sejak lama. Berdasarkan data Asia Development Bank 2014, pemerintah  negeri jiran tersebut mengelola hingga 78 persen dari kawasan industri yang tersebar di negaranya.

Dalam mengelola kawasan industri tersebut, pemerintah Malaysia banyak memacu sektor manufaktur yang difokuskan pada produksi produk lebih yang bernilai tinggi, lebih beragam  dan lebih kompleks. Demikian pula dari sisi investasinya, baik dari dalam maupun luar negeri juga difokuskan pada sektor dan penggunaan tinggi yang bertujuan mendukung secara langsung ekonomi ekonomi mereka. 

Di luar masalah pengelolaan, bagaimana perhatian pemerintah terhadap sarana dan prasarana kawasan industri negara tersebut?  Listrik yang menjadi salah satu kebutuhan urgen dalam menjalankan roda industri mereka dikelola dengan efektif dan efisien dengan membagi tarif listrik berdasarkan skala industri.

Bagi industri besar di negara tersebut akan dikenakan tarif listrik sekitar Rp 891/kWh, sementara untuk pelanggan golongan Industri Menengah-TM (Tegangan Menengah) dikenakan Rp 952/kWh sebesar dan pelanggan Bisnis Besar-TM sebesar Rp 1.102/kWh. Sementara itu untuk pelanggan Bisnis Menengah-TR, tarif listrik Malaysia yang sebesar Rp 1.559/kWh.

Kalau membandingkan dengan Vietnam, tarif tersebut menunjukan daya saing Malaysia yang lebih tinggi. Vietnam megenakan tarif listri industri skala menengah mencapai Rp 1.583/kWh. Namun angka tersebut lebih murah dibanding tarif listrik Singapura yang sebesar Rp 1.556/kWh, Filipina Rp 1.496/kWh, di Indonesia Rp 1.467/kWh, bahkan Thailand yang berada pada posisi tarif terendah yaitu Rp 1.188/kWh.

Tak hanya listrik, secara umum dukungan infrastruktur bagi kawasan industri di Malaysia cukup mendukung. Salah satu yang menjadi indikator adalah angka biaya logistik. Di Malaysia biaya logistik hanya sekitar 12 persen hingga 13,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).  Juga terlihat dari dari sisi infrastruktur Logistik Performance Index (LPI) Malaysia  yang berada di peringkat 29 dunia.

Hanya saja dalam hal biaya tenaga kerja, Malaysia memang termasuk negara yang memiliki rata-rata upah buruh tinggi. Berkembangnya kawasan industri mempengaruhi tingginya permintaan buruh di negara tersebut, bahkan tak sedikit yang didatangkan dari negara lain termasuk Indonesia. Rata- rata upah buruh di Malaysia tercatat sebesar 506 dolar AS per bulan. Angka ini merupakan tarif tertinggi di kawasan ASEAN atau di bawah Singapura.

Demikian juga dengan produktivitas tenaga kerja berdasarkan PDB Malaysia yang sebesar 46,6 ribu dolar AS per pekerja merupakan peringkat kedua setelah Singapura yang sebesar 114,4 ribu dolar AS per pekerja.

Sayangnya peringkat Malaysia dalam laporan daya saing global yang dirilis World Economis Forum tercatat mengalami penurunan dari posisi 18 diantara 140 negara di dunia pada 2015-2016 menjadi posisi ke-25 pada 2016-2017.

Penurunan ini tampaknya menjadi perhatian serius pemerintah negeri Jiran. Karena itu upaya meningkatkan keterampilan para pekerja di bidang industri makin dipacu. Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia Datuk Richard Riot menyampaikan bahwa pemerintah Malaysia berupaya mencapai 35 persen angkatan kerja pada tahun 2020 agar bisa menjadi negara maju. 

Untuk mencapai hal tersebut, Malaysia aktif bekerjasama dengan pihak  swasta. Menurut Datuk, porsi pekerja terampil di Malaysia dalam dua tahun terakhir mengalami peningkatan dari  28 persen pada tahun 2015, menjdi 31 persen pada tahun 2017.

Menarik Investasi

Tak heran dengan berkembang pesatnya kawasan industri di Malaysia mendukung meluasnya ekspor produk manufaktur negara tersebut disertai dengan peningkatan arus masuk investasi asing. Hampir setengah dari investasi yang masuk ke sektor manufaktur negara tersebut (46,8%) berasal dari investasi asing.

Total investasi sektor manufaktur Malaysia tahun 2016 tercatat sekitar RM 58,5 milyar untuk 340 proyek baru dan 393 proyek perluasan dan diversifikasi. Meski begitu, jumlah tersebut tampak mengalami penurunan dibandingkan tahun 2015 yang sebesar RM74,7 milyar lantaran terimbas pelambatan ekonomi global.

Bagi Indonesia, mestinya bisa banyak belajar dari kesuksesan Malaysia dalam mengelola kawasan industrinya. Beruntung, dengan adanya kerjasama kedua negara sebagai produsen utama kelapa sawit dunia, kedua negara akan melakukan kerjasama khususnya kawasan industri Sei Mangkei akan dikembangkan bekerja sama dengan Pemerintah Malaysia dalam skema Palm Oil Industrial Zone (POIZ).

Selain itu kawasan industri Dumai dan Berau sekaligus direncanakan menjadi kawasan pengembangan gasifikasi batu bara.

Untuk ekonomi ke depan, Bank Dunia dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update memprediksi bahwa ekonomi negara-negara besar dan berkembang di ASEAN akan menguat lebih cepat pada 2017 dan 2018. Khususnya Malaysia, subsidi pemerintah yang lebih tinggi serta belanja infrastruktur yang lebih banyak dan kenaikan ekspor akan menaikkan pertumbuhan ekonomi Malaysia menjadi 4,3 persen di  2017.

Adapun pertumbuhan ekonomi Malaysia diprediksi 4,5 persen di tahun 2018.