Hipmi Dukung Penguatan KPPU dalam Amandemen UU Persaingan Usaha

Oleh : Herry Barus | Selasa, 24 Oktober 2017 - 16:58 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mendukung penguatan posisi dan kewenangan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dalam rencana amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPMPUST). Penguatan KPPU dinilai bisa mendorong perkembangan jumlah pengusaha muda.

"Kami dukung penguatan KPPU. Satu-satunya (organisasi pengusaha) yang mendukung penguatan KPPU itu Hipmi," ujar Ketua Umum HIPMI Bahlil Lahadia pada acara Diskusi Panel Amandemen UU 5/1999, di Hotel Le Meridien, Jakarta, Selasa (24/10).

Alasan Bahlil mendukung penguatan KPPU adalah kondisi persaingan usaha yang memprihatinkan dengan suburunya praktek kartel dan monopoli usaha. Menurut dia, berbagai bisnis dari mulai hulu hingga hilir hanya dikuasai oleh 0,7% konglomerasi dari seluruh populasi pengusaha yang ada.

Alahsil, untuk mengembangkan peluang tumbuh 99,3% pemain baru, termasuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), kewenangan dan peran KPPU harus ditingkatkan.

Bahlil bahkan menuduh pihak yang tidak menyetujui revisi UU Nomor 5 tahun 1999 ini adalah konglomerat-konglomerat yang telah menjalankan bisnisnya secara monopolistik.

"Kami HIPMI mendorong agar sanksi diperkuat agar memberikan kesempatan pada pengusaha muda untuk bisa 'naik kelas'," ujar Bahlil.

Selain itu, Bahlil juga melihat jumlah populasi pengusaha yang sangat kecil, yakni 1,6% dari total populasi penduduk Indonesia. Menurutnya, Indonesia setidaknya harus memiliki minimal 2% pengusaha dari total populasinya.

"Butuh paling tidak 1,8 juta anak muda baru untuk menjadi pengusaha. Tetapi akan sulit naik kelas apabila terus ada praktik seperti ini," ujar Bahlil.

Ketua KPPU Syarkawi Rauf menyambut baik dukungna Hipmi dan memaparkan beberapa poin usulan amandemen yang akan disuarakan. Salah satunya denda dan sanksi yang diberikan agar diperbesar. Karena, selama ini, para perusahaan yang terbukti bersalah hanya bisa didenda maksimal Rp 25 miliar. Sejumlah nilai yang dianggap terlalu kecil jika dibandingkan dengan dampak yang ditimbulkan.