Sambut Hari Musik Nasional 2024, Jurnalis Musik Alex Palit Rilis Buku “Nada-Nada Radikal Musik Indonesia”

Oleh : Herry Barus | Minggu, 03 Maret 2024 - 14:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Menyambut Hari Musik Nasional 2024, jurnalis musik Alex Palit merilis buku “Nada-Nada Radikal Musik Indonesia”. 

Buku yang setebal 170 halaman ini menyorot musik Indonesia dalam perspektif filosofi, budaya dan politik, sebelumnya pernah diterbitkan Mei 2020, dirilis ulang dalam edisi revisi 2024.

Menurutnya, musisi tak beda dengan jurnalis yaitu sama-sama sebagai pewarta. Kalau jurnalis mewartakan kesaksiannya lewat bahasa tulisan, sedang musisi merekam hasil amatannya lalu diolah dengan segenap imajinasi seninya kemudian diekspresikan dan dituangkan lewat bahasa musik, lagu, dan nyanyian.  Demikian keterangan dari  Alex Palit, jurnalis, penulis buku “2024 Kenapa Harus Prabowo Subianto Notonegoro”

Bagi musisi, musik itu sendiri tak bedanya sebagai media komunikasi yang bisa bermakna lebih dari sekadar rangkaian instrumentasi bunyi.

Dengan bahasa musik, ia mengekspresikannya, apa itu lewat ungkapan puitisasi syair lirik lagu, di mana didalamnya bisa berupa tuangan cerita, pesan, harapan, kritik, bahkan pernyataan sikap, atau apapun itu.

Bagaimana kita diingatkan pada momentum historis Konggres Pemuda Indonesia II – 28 Oktober 1928, kala itu, untuk kali pertama lagu Indonesia Raya diperdengarkan dihadapan publik peserta konggres oleh WR Supratman yang dimainkan secara instrumentalis hanya dengan gesekan biola.

Keikutsertaan WR Supratman di ajang konggres pemuda ini adalah satu-satunya perserta yang hadir bukan dari kalangan tokoh pergerakan. Ia mewakili dirinya atas nama sebagai seorang seniman musisi, seorang komponis.

Siapa sangka, hanya dengan gesekan biola ternyata resonansi nada-nada radikal; ‘Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya’, bagai magnet yang membangunkan jiwa dan membangkitkan semangat patriotisme peserta konggres akan arti kemerdekaan.

Dikatakan, hal ini menunjukkan bahwa musik tidak sekadar media hiburan semata, juga punya pengaruh cukup kuat dalam kehidupan, termasuk di bidang kehidupan bernegara.

Begitupun musisi itu juga tak bedanya dengan seorang pengamat yang memiliki kepekaan dan sikap kritis terhadap persoalan kemasyarakatan. Bahkan daya kritis musisi dalam melihat persoalan bangsa tidak kalah dengan pengamat politik sekalipun. Hanya beda media penyampaian.

Kalau pengamat politik menyampaikan amatannya lewat analisa-analisa atau kajian didasarkan pada referensi politis. Sementara pengamatan musisi lebih pada aspek sosio kultural atau kesenian, walau secara substansial ketajamannya tidak kalah dengan pengamat politik.

Kalau pengamat politik gaya penyampaiannya lewat bahasa eksplisit atau to the point, sedang musisi dalam menyampaikan sikap kritis kritikannya dibungkus dalam bahasa seni yang cenderung implisit, plastis dan interpretatif, walau secara substansif ketajaman amatannya tak kalah dengan pengamat politik. Termasuk dalam penyampaian kritik sosial.

Apa yang disampaikan musisi lewat musik protes atau kritik sosial ini tak ubahnya sebagai kontrol sosial yang diekspresikannya dalam bentuk musik, lagu atau nyanyian, atau nada-nada itu sendiri.

Nyanyian bertemakan kritik sosial yang menyorot kepincangan-kepincangan sosial juga banyak ditemui, seperti pada lagu-lagu  Iwan Fals, Franky Sahilatua, Leo Kristi, Gombloh, Harry Roesli, Sawung Jabo, Mogi Darusman, Rhoma Irama, God Bless, Swami, Kantata Takwa atau Slank.