Rachmawati Kritisi Tokoh Masyarakat Kerap Katakan Saya Pancasila

Oleh : Herry Barus | Jumat, 21 Juli 2017 - 08:05 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta-Tokoh nasional Rachmawati Soekarnoputri ragu orang-orang yang belakangan kerap mengatakan "Saya Pancasila" memahami Pancasila seperti yang dimaksudkan Bung Karno dan founding fathers lainnya.

Menurut Mbak Rachma, begitu ia biasa disapa, tagline "Saya Pancasila" (dan "Saya Indonesia", red) yang diperkenalkan pemerintah saat peringatan Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni lalu, tidak tepat digunakan karena Pancasila adalah dasar negara.

Penilaian Rachma, yang bernama lengkap Diah Pramana Rachmawati Soekarno, itu disampaikan saat memberikan sambutan dalam peresmian program pascasarjana Universitas Bung Karno di Kampus UBK, Cikini, Jakarta, Kamis (20/7/2017).

Rachma mengatakan, patut disesalkan apabila tagline "Saya Pancasila" hanya dijadikan komoditas politik dalam arti sempit. Dia juga menyesalkan upaya kelompok yang mengecilkan arti Pancasila seolah-olah hanya tentang keberagaman semata.

"Pancasila tidak melulu soal keberagaman. Kita tidak punya masalah dengan keberagaman. Kita sudah beragam ratusan tahun sebelum negara ini dilahirkan. Masalah yang kita hadapi adalah rendahnya keadilan baik politik maupun ekonomi, juga hukum," ujarnya.

"Bung Karno juga memandang Pancasila sebagai bintang pembimbing ke arah tatanan masyarakat yang berkeadilan sosial dan sejahtera," tambah dia.

Menurutnya, untuk mencapai pemahaman Pancasila sebagaimana dimaksudkan oleh Bung Karno ada lima unsur yang harus dipenuhi, yakni Manipolusdek.

"Manipolusdek itu manifesto politik, UUD 1945, sosialisme ala Indonesia dan demokrasi terpimpin. Bukan demokrasi liberal yang berdasarkan UUD hasil amandemen seperti yang sekarang dipraktikkan," kata dia lagi.

Praktik perekonomian juga tidak lagi mengarah ke sosialisme ala Indonesia yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan dimana negara bertugas memroteksi warga negara. Neoliberalisme yang dipraktikkan memberi kesempatan luas hanya kepada pemain ekonomi besar dan kelompok bisnis yang mendapat perlakuan khusus.

Neoliberalisme dan kapitalisme ini, menurut hemat Rachma, adalah radikalisme dalam arti yang lain, dimana penguasa percaya bahwa pasar harus terbuka dan bebas, tanpa peduli banyak rakyat yang tergusur oleh paham itu.

"Ini tidak sesuai dan tidak cocok dengan sila kelima Pancasila, tapi kok dibiarkan dan diamini. Makanya, saya ragu mereka paham apa itu Pancasila," pungkasnya.