Pemberitaan Pers Asing

Oleh : Jaya Suprana | Kamis, 06 Juli 2017 - 10:50 WIB

INDUSTRY.co.id, Jakarta - MAJALAH terkemuka Eropa: The Economists edisi 13 Mei 2017 bercover wajah Donald Trump sedang merengut, disilang pita merah dengan judul "TRUMPONOMICS" bersub-judul "What it is, and why it is dangerous" (Apa itu dan kenapa itu berbahaya).

Judul pada cover The Economists itu tendensius sekaligus profokatif sama halnya dengan sebuah berita di dalamnya yang berjudul "Sent Down" di bawah up-judul "Pluralism in Indonesia" dan bersub-judul "An unfair trial leaves Chinese Indonesians feeling vurnerable".

SARA

Yang dimaksud dengan "an unfair trial" adalah pengadilan terhadap Basuki Tjahaja Purnama dalam kasus penistaan agama di mana majelis hakim memvonis dua tahun terhadap Basuki. Sementara menurut hukum yang berlaku di Indonesia, penistaan agama memang tidak dibenarkan.

Selanjutnya The Economists memberitakan bahwa ada seorang warga Indonesia yang disebut sebagai "Chinese Indonesian" berkomentar: "For most of us minorities this was expected. And it further confirms our fear that for as long as we live here, we will have to look over our shoulders."

Di planet bumi yang menganut paham kebebasan menulis pendapat, apa yang diberitakan oleh The Economist jelas sah-sah saja. Namun saya yang kebetulan warga Indonesia yang di alam demokrasi Orde Reformasi juga memiliki hak asasi untuk menulis pendapat yang dimuat oleh Kantor Berita RMOL ini.

Menurut pendapat saya pemberitaan The Economists mengandung virus SARA yang rawan memecah-belah bangsa, negara dan rakyat Indonesia.

Chinese Indonesia
 
Istilah "Chinese Indonesian" yang digunakan oleh The Economists anakronis sebab setelah prakarsa Gus Dur menghadirkan UU Anti Diskriminasi Ras sebenarnya sudah tidak perlu lagi  mengkotak-kotakkan ras atau etnis di Indonesia . Syukur Alhamdullilah, The Economists tidak menggunakan istilah "Christian Chinese Indonesian" seperti yang dilakukan oleh The South China Morning Post.

Meski berulang kali menggunakan istilah "Chinese Indonesian," The Economists tidak menggunakan istilah "Arab Indonesian" bagi Anies Baswedan yang unggul pada pilkada Jakarta. Sementara The Economists menyebut bahwa "Another prominent Chinese-Indonesian said he worried that Mr. Baswedan’s victory heralded the first step toward imposing Islamic law" (Seorang tokoh terkemuka Chinese-Indonesian lainnya menguatirkan kemenangan Mr. Baswedan menjadi langkah pertama untuk memaksakan hukum Islam di Indonesia).

Saya merasa diri saya bukan tokoh terkemuka dan bukan "Chinese Indonesian" akibat merasa diri adalah warga Indonesia titik, maka The Economists tidak mewawancarai saya. Andaikata The Economists mewawancari saya seperti yang dilakukan The New York Times,  maka saya akan menjawab bahwa saya terkejut atas keputusan majelis hakim terhadap BTP.  Semula saya menduga BTP dinyatakan tidak bersalah.  

Wajar

Namun saya tidak merasa terancam sebab kerusuhan justru potensial terjadi apabila majelis hakim memvonis BTP tidak bersalah. Dari beberapa diskusi soal negara, bangsa dan rakyat dengan Anies Baswedan, saya berani menyimpulkan bahwa mantan Mendikbud ini sama sekali tidak pernah memiliki niatan menjadikan Indonesia negara Islam.

Anies Baswedan adalah cucu Abdurrahman Baswedan, Menteri Muda Penerangan Repubik Indonesia yang pada tahun 1947 merupakan anggota delegasi  Menteri Muda Luar Negeri RI H Agus Salim berkunjung ke sejumlah negara Timur Tengah untuk mencari dukungan dan pengakuan negara-negara lain atas kemerdekaan NKRI.
 
Mengenai anggapan pengadilan tidak fair sebenarnya wajar. Memang wajar, keputusan majelis hakim apa pun, di mana pun, bagaimana pun, siapa pun, kapan pun  niscaya dianggap tidak fair oleh pihak yang merasa tidak puas terhadap keputusan majelis hakim.

_Penulis adalah warga Indonesia titik._