Pengusaha Iklan Minta Pemprov DKI Jakarta Jangan Main Hakim Sendiri

Oleh : Ridwan | Jumat, 16 Juni 2017 - 17:27 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta, Kisruh antara pengusaha reklame dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta kian memanas. Untuk kali ini, pengusaha menilai para stakeholder dan aparat telah main hakim sendiri dengan upaya menghalangi pekerjaan membuat proses perizinan, dan lain sebaginya.

Seperti diketahui sebelumnya, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan penertiban terhadap sejumlah papan reklame yang telah habis masa izinnnya, dan akan mengganti dengan reklame digital atau elektronik reklame LED. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 244 Tahun 2015 tentang petunjuk pelaksanaan penyelenggara reklame.

Disisi lain, para pengusaha menuntut adanya payung hukum untuk melindungi keberlangsungan bisnis reklame di Jakarta.

Salah satu pengusaha reklame dari PT Pixel Media Inovasi, Martono menyatakan salah satu praktiknya Walikota Jakarta Pusat hendak mencabut reklame yang telah dipasang.

"Praktik di lapangan terjadi distorsi, ada yang kontraproduktif. Ke depan perlu kajian yang lebih komprehensif dan realistis untuk diterapkan dan tidak mematikan industri yang ada, sehingga aturan yg ada bisa Pergub harus sejalan dengan peraturan daerah. Ini di lapangan semua semena-mena jadinya," ungkap Martono di Jakarta (16/6/2017).

Martono menilai ada pihak yang sengaja ingin mematikan industri tersebut. Padahal menurutnya, industri reklame merupakan salah satu industri kreatif yang harus diperjuangkan karena memiliki kontribusi cukup besar untuk negara, serta banyak menyerap tenaga kerja.

“Industri reklame merupakan salah satu bagian dari bisnis kreatif yang harus diperjuangkan. Karena dalam pelaksanaannya kita banyak menyerap banyak tenaga kerja, dan membangkitkan industri lain yang berhubungan dengan struktur reklame seperti industri papan, kain, sticker, dan lain sebagainya. Dengan adanya ketidakpastian ini kami anggap ada oknum yang sengaja mau matikan industri ini,” ujarnya.

Manrtono menyebut kejadian yang ada di Jakarta Pusat banyak yang tidak sesuai prosedur, ada penyelewengan kekuasaan yang biasanya ada komunikasi antar pihak. "Dari SP 1 ini tiba-tiba langsung SP 3. sudah main hakim sendiri." pungkasnya.