Sastrawan Kyai Ahmad Tohari, Dikira Peminta Sumbangan Oleh Front Office Hotel Tempatnya Menginap

Oleh : Herry Barus | Selasa, 15 Maret 2022 - 12:41 WIB

INDUSTRY.co.id - Semarang- Nama sastrawan Kyai Ahmad Tohari boleh mendunia, bahkan konon ia satrawan No 1. Dia jelas “orang penting”  dalam jagat sastra Indonesia, selain Pramoedya Ananta Toer, Sutan Takdir Alisyabaha, NH Dini, dan WS Rendra. Anda belum layak disebut pecinta karya sastra Indonesia,  jika belum membaca trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” dan karya sastra Ahmad Tohari lainnya.

Tapi lantaran wajahnua tidak populis seperti artis pada umumnya. Sehingga wajahnya tidak dikenali banyak orang termasuk front Office Hotel. Karena kesederhanaannya itu, Ahmad Tohari sempat mendapat pengalaman tak menyenangkan. Ditolak masuk hotel berbintang di ibukota,  tempatnya menginap pada acara pertemuan sastra.

 “Dengan pakai kupluk begini, dikiranya saya mau minta sumbangan, “ katanya, memamerkan kopiah bututnya.

“Saya kasih unjuk surat undangan, dan bilang: ‘ini saya datang diundang sama boss-mu, Jacob Oetama’, “  katanya kepada ‘front office’. Dia mengaku lelah setelah menempuh perjalanan panjang dan langsung emosi saat mendapat sambutan tak ramah dari petugas Hotel Santika (Kompas Grup)  di Slipi, tempatnya diinapkan selama di Jakarta.

Sastrawan Indonesia terkemuka yang kondang dengan novel trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” ( rilis 1982) ini tinggal di rumahnya yang asri di desa Tinggar Jaya, Jatilawang - Banyumas, Jawa Tengah, di pinggiran jalan raya jalur selatan, menuju Jogyakarta.

Rumahnya yang resik tertutup banyak pepohonan dan bersebelahan dengan Paud, aula dan mushala di bagian belakangnya. Di balik rerimbunan sekitar rumah, ada kolam ikan juga, katanya. Selain kebun buah buahan.

“Ronggeng Dukuh Paruk masuk cetakan ke 17, “ jawabnya ketika kami menyinggung lagi ‘karya  masterpeace’-nya ditulis tahun 1981 dan rilis  di tahun berikutnya.

Trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk” : “Catatan buat Emak”  “Lintang Kemukus DInihari” dan “Jantera Bianglala”

“Jelek jelek gini pergaulan saya sekelas presiden, “ katanya sembari terkekeh.

Tak ada maksud menyombongkan diri, meski Ahmad Tohari memang harus dikenal oleh para presiden dan para petinggi negara republik ini. Karya karya dari sastrawan kelahiran 13 Juni 1948 ini sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Jerman, Spanyol, Italia,  China dan Jepang. Kurang hebat apa?

Selain  santun dia berpembawaan sederhana, bicaranya pelan, runtut dan berisi. Penampilannya pun bersahaja, khas kyai kampung.

Kisah “Ronggeng Dukuh Paruk” sudah diangkat ke layar perak. Pada film pertama, tahun 1983,  “Darah Mahkota Ronggeng “ sosok Srintil diperankan oleh bintang Indo,  Enny Beatrice. Pada film ke dua, tahun 2011, dengan judul “Sang Penari diperankan oleh aktris Prisia Nasution. Film “Sang Penari” karya sutradara Ifa Ifansyah meraih 10 nomine dan empat Piala Citra FFI 2011.

JIKA membaca Srintil tanpa mengenal penulisnya, Anda akan mengira pengarangnya seorang sastrawan “murni” yang memiliki  kepiawaian penulis, membius pembaca dengan pemahaman budaya yang mendalam, khususnya pada budaya Jawa abangan dan berpenampilan khas Kejawen.

Belakangan terungkap, penulisnya adalah seorang santri, Nahdliyin dan kemudian dekat dengan Gus Dur. Santri dan Kyai yang bersimpati pada kaum abangan.

Tak hanya trilogi Srintil, tokoh tokoh cerita dalam novel dan kumpulan cerpen berikutnya juga merujuk pada kehidupan desa, kaum abangan. Anda bisa membacanya lewat novel “Kubah” (1980), “Bekisar Merah”  (1990), “Belantik” (1993), “Lingkar Tanah Air” (1991), dan “Orang orang Proyek” (2002).

Ahmad Tohari juga merilis kumpulan cerpen “SenyumKaryamin” (1987), “Nyanyian Malam” (1994), “Mata yang Enak Dipanjang” dan “Rusmi Ingin Pulang “  (2015). Sedangkan tiga kumpulan esainya, bertajuk “Berhala Kontemporer”  (1985), “Mas Mantri Gugat” (1996) dan “Mas Mantri Menjenguk Tuhan” (1997).

Lalu apa kegiatan mengisi hari tuanya?

Yang ditanya memamerkan majalah “Ancas”, majalah bulanan dalam bahasa Jawa Banyumasan yang diterbitkannya sejak 2010 lalu. “Saya jadi pemimpin umum di sini. Gaji saya sebulan Rp1,5 juta, “ katanya dengan tawa.

Satrawan peraih penghargaan Sastra “Rancage” (2002), Anugerah Kebudayaan Presiden (2010) dan “Barkrie Award” (2015)  dengan hadiah Rp. 250 juta ini, meneruskan kegiatan menulisnya, menyajikannya dalam kolom khas.  “Uang dari Aburizal Bakrie saya masukkan ke bank dan ngambil bunganya aja, buat nyambung hidup, “ katanya.

Ahmad Tohari membanggakan anak anaknya yang sudah mentas, ada yang jadi dokter ada yang kerja perguruan tinggi. Seorang di antaranya menikah dengan non muslim. Ahmad Tohari tak mempermasalahkan, mempersilahkan kepada anaknya yang menjalani. “Tapi atas kesadaran sendiri, menantu saya masuk Islam, “ kata kyai dan pengasuh pondok pesantren ini.

"Saya nggak pernah maranggawe (hajatan), jadi anak saya nikah ya cukup di penghulu. Nggak pakai ramai-ramai, karena kalau ramai-ramai ngrepotin tetangga. Saya orangnya nggak mau ngrepotin tetangga. Kasihan  mereka," tandas Ahmad Tohari