OJK Minta Perusahaan Konglomrasi Tumbuhkan Budaya Baru

Oleh : Herry Barus | Selasa, 13 Juni 2017 - 09:08 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D Hadad meminta perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam satu konglomerasi keuangan untuk menumbuhkan budaya baru di dalam menjalankan bisnisnya.

Hal tersebut disampaikan Muliaman saat memaparkan rencana OJK yang akan menerbitkan peraturan OJK tentang Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK), yang mewajibkan Konglomerasi Keuangan (KK) memiliki perusahaan induk atau holding company dan membuat definisi baru tentang konglomerasi keuangan.

"Yang penting harus tumbuh budaya baru di bisnis grup itu bahwa mereka itu saling terkait satu sama lain, tidak bisa dipisah-pisah. Ini juga penting bagi para pemiliknya bahwa penguatan anak perusahaan itu sama pentingnya dengan penguatan induk perusahaan," ujar Muliaman di Kantor Pusat OJK, Jakarta, Senin (12/6/2017)

POJK tentang pembentukan PIKK dan perubahan definisi KK sendiri adalah untuk melengkapi dan memperkuat kebijakan pengawasan terintegrasi terhadap konglomerasi keuangan.

Menurut Muliaman, peningkatan pengawasan terhadap konglomerasi keuangan harus terus dilanjutkan mengingat dinamikanya terus meningkat.

"Saya kira sesuai dengan amanat Undang-Undang OJK, OJK harus mampu melaksanakan pengawasan lebih terintegrasi," ucapnya.

Kita, lanjut dia, sudah kembangkan dua tahun belakangan ini dengan pendekatan konglomerasi, tentu saja masih banyak yang perlu disempurnakan pendekatannya karena Indonesia kan belum punya Undang-Undang Holding Company.

"Tapi kita coba dengan aturan yang ada di OJK, tentu saja memungkinkan," ujarnya.

Aturan tentang pembentukan PIKK sendiri didasari oleh masukan dari industri dan juga berdasarkan hasil penelitian terhadap praktik yang berlaku di beberapa negara lain.

Konsep Entitas Utama (EU) yang digunakan saat ini dinilai memiliki keterbatasan, yaitu EU tidak memiliki kendali terhadap lembaga jasa keuangan lain anggota KK sehingga dapat menyulitkan penerapan manajemen risiko, tata kelola, dan permodalan terintegrasi.

Beberapa negara seperti Malaysia, Korea, dan Singapura, telah menerapkan aturan tentang PIKK atau financial holding company tersebut.

Dengan adanya holding company khusus untuk sektor jasa keuangan, maka seluruh aktivitas KK dapat dikonsolidasikan dan dikendalikan oleh PIKK.

Fungsi entitas utama yang selama ini dapat dijalankan oleh salah satu lembaga jasa keuangan dalam konglomerasi keuangan, nantinya akan dilaksanakan oleh PIKK.

Dalam rancangan POJK tentang PIKK, yang wajib membentuk PIKK adalah pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir.

Penerapan ketentuan tersebut mungkin akan mengakibatkan perubahan struktur kepemilikan, terutama apabila terdapat lembaga jasa keuangan yang tidak dimiliki secara langsung maupun tidak langsung oleh entitas yang ditunjuk sebagai PIKK.

PIKK dapat berupa salah satu lembaga jasa keuangan dalam konglomerasi keuangan, atau dapat pula berupa entitas non lembaga jasa keuangan, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk.

"Oleh karena itu, tentu saja karena anaknya diawasi dan induknya diawasi, mereka sebaiknya fokus saja berikan perhatian terhadap kesehatan keuangan grup secara keseluruhan," kata Muliaman.

Pada Rancangan POJK tersebut, suatu grup lembaga jasa keuangan baru dinyatakan sebagai suatu konglomerasi keuangan apabila terdapat lembaga jasa keuangan.

Setidaknya dua sektor yaitu bank, perusahaan asuransi dan reasuransi, perusahaan efek, dan atau perusahaan pembiayaan, dan konglomerasi keuangan tersebut memiliki total aset minimal Rp2 triliun.

Berdasarkan kriteria baru tersebut, saat ini terdapat 48 konglomerasi keuangan dengan total aset per posisi 31 Desember 2016 mencapai Rp5.915 triliun atau 67,52 persen dari total aset keseluruhan sektor jasa keuangan.

Untuk POJK terkait PIKK sendiri ditargetkan akan terbit sebelum akhir 2017.