Terlalu! Orang Lain Berpesta, Silmy Karim Cuci Piring, Bukannya Diapresiasi Malah Diusir & Diteriakin Maling

Oleh : Herry Barus | Kamis, 24 Februari 2022 - 11:00 WIB

INDUSTRY.co.id - Jakarta- Sindiran 'Maling Teriak Maling' dan pengusiran Direktur Utama Krakatau Steel, Silmy Karim yang dilakukan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Bambang Haryadi saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Senin (14/2/2022), mendapatkan tanggapan dari Direktur Eksekutif Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi. Menurutnya, tindakan politikus Partai Gerindra tersebut hanya mempermalukan diri sendiri karena tidak menguasai masalah secara utuh.

Proyek 'Blast Furnace' memang dihentikan, tapi hanya sementara dan sudah melalui izin Kementerian BUMN, konsultasi dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) serta kajian lembaga independen. Karena jika dipaksakan tetap beroperasi akan menimbulkan kerugian yang besar terhadap Krakatau Steel. Sembari menunggu proses hukumnya, Krakatau Steel juga terus berupaya menggaet investor agar segera dapat kembali beroperasi.

"Jadi nampaknya wakil rakyat kita ini tidak menguasai masalah sehingga hanya mempermalukan dirinya sendiri. Buktinya, tagar Bangga Punya Silmy Karim sempat menggema bahkan trending di Twitter. Publik sudah cerdas. Semua orang tahu bahwa 'Blast Furnace' itu proyek warisan manajemen terdahulu. Jauh sebelum Silmy Karim ditugaskan untuk membenahi Krakatau steel. Orang lain yang makan, Silmy Karim yang cuci piring. Bukannya diapresiasi tapi malah diteriakin maling. Ini kan sadis," kata R Haidar Alwi pada Kamis (24/02/2022).

"Adapun masalah banjir baja impor, itu bukan kewenangan Krakatau Steel, melainkan lintas Kementerian. Ada Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Keuangan. Justru yang mengeluarkan izin impor itu adalah Kementerian Perdagangan. Lantas, kenapa Krakatau Steel yang disalahkan? Panggil dong kementerian terkait yang berperan sebagai regulator," imbuh R Haidar Alwi.

Sebagai informasi, 'Blast Furnace' merupakan pabrik peleburan baja milik Krakatau Steel yang berlokasi di Cilegon, Banten. Proyek zaman SBY ini diinisiasi pada tahun 2008 dan ditandatangani 15 November 2011. Direktur Utama Krakatau Steel saat itu adalah Fazwar Bujang yang menjabat sejak November 2007 sampai Juni 2012. Kemudian pada saat 'ground breaking' tanggal 9 Juli 2012, Direktur Utama Krakatau Steel dijabat oleh Irvan K Hakim dari Juni 2012 sampai April 2015. Menteri BUMN saat itu yakni Dahlan Iskan terhitung sejak 19 Oktober 2011 sampai 20 Oktober 2014.

Penyelesaian proyek 'Blast Furnace' diketahui molor beberapa kali. Dalam laporan tahun buku 2011 Krakatau Steel, proyek 'Blast Furnace' ditargetkan selesai tahun 2013. Lalu, dalam laporan tahun buku 2012 Krakatau Steel, penyelesaiannya molor menjadi tahun 2015. Kemudian, dalam laporan tahun buku 2013 Krakatau Steel, target penyelesaiannya berubah lagi menjadi tahun 2016.

Dua Direktur Utama Krakatau Steel berikutnya yakni Sukandar dan Mas Wigrantoro Roes Setiyadi juga tak mampu menyelesaikan proyek mangkrak 'Blast Furnace' yang diwariskan para pendahulunya. Bahkan kepemimpinan keduanya masih membuahkan kerugian berkelanjutan bagi Krakatau Steel.

 

Pada tanggal 6 September 2018, Rini Soemarno yang waktu itu menjabat sebagai Menteri BUMN lantas menunjuk Silmy Karim menjadi Direktur Utama Krakatau Steel. Salah satu alasannya adalah untuk menyelesaikan proyek 'Blast Furnace' yang telah mangkrak bertahun-tahun. Rini Soemarno juga optimis Silmy Karim bakal mampu membawa Krakatau Steel mencetak laba di tahun 2020.

"Ternyata apa yang tidak bisa dilakukan oleh 4 orang Direktur Utama sebelumnya, mampu diselesaikan oleh Silmy Karim. Pada September 2019, Silmy Karim berhasil membuat pabrik 'Blast Furnace' benar-benar beroperasi walau terpaksa dihentikan pada 5 Desember 2019 karena biaya produksinya yang terlampau tinggi. Selain itu, ia juga berhasil membawa Krakatau Steel mencetak laba sebesar Rp 326 miliar pada tahun 2020 dan Rp 1,06 triliun hingga November 2021 setelah delapan tahun berturut-turut mengalami kerugian. Di era Silmy Karim pula dilakukan pembayaran utang sebesar Rp 3,2 triliun dari total Rp 32 triliun peninggalan manajemen sebelumnya," pungkas R Haidar Alwi.