Menakar Urgensi Lembaga Penjamin Polis di Indonesia
Oleh : Farid | Senin, 13 Agustus 2018 - 11:45 WIB
Farid OJK (Foto Dok Industry.co,id)
INDUSTRY.co.id - Tahun 2011, sebuah film berjudul “Too Big To Fail” yang disutradarai oleh Curtin Hanson menceritakan bagaimana sub-prime mortgage di Amerika menjadi pemicu dalam krisis ekonomi global tahun 2008. Salah satu scene-nya menggambarkan ketika American Insurance Group (AIG) mendapat suntikan dana (bail out) sebesar $85 Miliar dari Federal Reserve untuk menyelamatkan industri keuangan di sana dari kekacauan finansial yang lebih kompleks.
Film tersebut diambil dari kejadian nyata saat krisis terjadi. Di kita, sejarah membuktikan skema penjaminan simpanan sepenuhnya oleh pemerintah (blanket guarantee) selalu syarat akan terjadinya moral hazard. Hal ini pula yang mendorong pemerintah untuk membentuk Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai lembaga independen pelaksana penjaminan dana masyarakat.
Bahkan, setelah berlakunya Undang-Undang Pencegahan dan Penangana Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK) tahun 2016 lalu, penanganan suatu bank yang berdampak sistemik sudah dilakukan dengan tidak melibatkan dana pemerintah lagi (Bail in). LPS bisa melakukan beberapa opsi penyelematan mulai dari purchase and assumption, bridge banking (bank perantara), hingga penerbitan obligasi yang dapat dikonversi menjadi ekuitas.
Berkaca dari hal-hal di atas, industri asuransi sebenarnya memiliki risiko yang sama dengan perbankan. Mengingat dalam melaksanakanan kegiatan usahanya, industri asuransi melakukan deposit taking namun dalam bentuk premi.
Uang premi yang masuk tersebut kemudian dikelola, diinvestasikan untuk memenuhi kewajiban kepada pemegang polis. Namun bahaya sekali jika dalam pengelolaannya dilakukan secara tidak hati-hati dan abai akan aspek-aspek governance.
Alih-alih bertambah, uang investasi tersebut justru malah terus berkurang. Dalam jangka panjang hal ini dapat menyebabkan tergerusnya asset perusahaan, kesulitan untuk memenuhi likuiditas & solvabilitasnya serta bermuara kepada kondisi pailit.
Lalu bagaimana apabila suatu perusahaan asuransi gagal dalam memenuhi kewajibannya kepada masyarakat? Ambil contoh, apabila kita memiliki asuransi pendidikan yang akan jatuh tempo di tahun 2025, namun perusahaan asuransi kita sudah lebih dahulu pailit di tahun 2018, siapa yang akan membayar kepada kita ?
Sebagai langkah preventif, aspek prudential dalam asuransi sebenarnya diatur cukup ketat untuk mengcover berbagai kejadian seperti di atas. Sebut saja persyaratan solvabilitas berbasis risiko yang harus di atas 120% maupun kewajiban setiap perusahaan untuk memiliki dana jaminan yang dijadikan sebagai senjata pamungkas apabila perusahaan tersebut dilikuidasi.
Tetapi, apakah dana tersebut cukup untuk membayar polis-polis asuransi yang pailit?
Asuransi juga butuh dijamin, sederhananya seperti itu. Dibutuhkan sebuah mekanisme seperti LPS yang dapat melindungi dana nasabah yang dikelola oleh perusahaan asuransi.
Untuk menangkal hal tersebut, munculah konsep sebuah lembaga yang memiliki kemampuan untuk menjamin polis dari suatu asuransi apabila perusahaan tersebut gagal memenuhi kewajibannya. Di luar negeri, lembaga ini disebut “Policyholder Protection Fund” atau Lembaga Penjamin Polis (LPP).
Kegiatan operasional yang paling dasar dari LPP ini adalah memberikan kompensasi kepada penerima klaim yang berhak (eligible insurance claimants) setelah perusahaan asuransi dinyatakan insolven. Uangnya berasal dari iuran tiap-tiap perusahaan asuransi yang dikelola untuk sewaktu-waktu digunakan apabila ada asuransi yang pailit.
Urgensi Nasional
Isu mengenai keberadaan Lembaga Penjamin Polis memang menjadi isu yang cukup penting. Mengingat mengingat industri asuransi memiliki asset paling besar diantara Industri Keuangan Non Bank lainnya.
Tercatat berdasarkan data OJK pada Juni 2018, nilai total asset industri asuransi kita (komersial, wajib dan sosial) mencapai 1.150 Triliun atau meningkat sebesar 13,61% secara YoY. Apalagi potensi pasar kita masih sangat terbuka. Hal ini dapat dilihat baik dari segi penetrasi maupun densitas asuransi yang masih kalah jauh dibandingkan dengan negara tetangga kita.
Dengan total asset yang begitu besar, jaring pengaman industri asuransi mutlak harus dibentuk agar dapat meminimalisir dampak risiko katastropik yang dapat terjadi. Oleh karena itu setidaknya ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan mengenai urgensi untuk membentuk LPP di Indonesia.
Pertama, Pembentukan LPP merupakan amanat dari Pasal 53 Undang-Undang No.40 Tahun 2014 tentang Perasuransian. Di dalamnya dijelaskan bahwa UU mengenai program penjaminan polis harus dibentuk paling lama 3 tahun sejak UU 40/2014 diundangkan atau pada tahun 2017 kemarin.
Nah, hal ini secara langsung berarti menyiratkan bahwa secara yuridis LPP (nantinya) memiliki kewenangan atributif untuk melaksanakan usaha penjaminan polis di Indonesia.
Kedua hadirnya Lembaga Penjamin Polis sudah menjadi sesuatu yang lumrah di negara-negara lain dengan skema yang sangat bervariatif. Misalnya saja di Amerika dan Kanada yang mencakup penjaminan polis bagi Asuransi jiwa dan dan asuransi non jiwa (properti), Malaysia dengan skema yang serupa namun dengan mengecualikan produk unit link, atau Norwegia yang hanya fokus pada penjaminan polis non jiwa saja.
Namun, hal yang menjadi pertimbangan lebih lanjut adalah mengenai beberapa mekanisme teknis dalam pelaksanaannya. Misalnya saja penerapan tarif iuran (levy) yang akan dikenakan kepada perusahaan asuransi, apakah menggunakan tarif flat atau dihitung berdasarkan jumlah premi/liabilitas yang dimiliki. Hal tersebut harus cermat dilakukan agar tidak membebani industri asuransi secara umum.
Satu hal lagi sebetulnya yang lebih krusial. Apakah program penjaminan polis ini akan diintegrasikan dengan LPS atau lembaga tersendiri yang terpisah? Karena ketika disatukan dengan fungsi LPS, sudah tentu harus merubah UU LPS terlebih dahulu.
Ketiga dari sisi aspek perlindungan konsumen, LPP akan memberikan rasa kenyamanan dan keamanan bagi para pemegang polis. Hal tersebut akan bermuara pada meningkatkatnya kepercayaan publik serta mendorong masyarakat untuk menggunakan produk-produk asuransi. Ujungnya, industri asuransi kita yang menuai berkahnya.
Lebih baik mencegah daripada mengobati. Kalau sekali-sekali sakit, hati akan tentram jika ada asuransi. Begitu juga fungsi kehadiran LPP bagi industri asuransi kita. Stabilitas nasional dapat lebih terjaga dan tentunya akan lebih siap jika ada kejadian buruk terjadi.
Farid: Staff Khusus Kepala Eksekutif Industri Keuangan Non Bank merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan
Komentar Berita