Pemimpin dan Dimensi Pendidikan

Oleh : Joni Welman Simatupang | Senin, 19 Maret 2018 - 12:05 WIB

Joni Welman Simatupang
Joni Welman Simatupang

INDUSTRY.co.id - Pendidikan adalah suatu proses pembentukan kepribadian peserta didik sehingga mereka mampu menyaring budaya asing, memberdayakan segi positifnya, dan meninggalkan segi negatifnya tanpa menghilangkan karakter (identitas) diri sendiri. (Ki Hajar Dewantara)

Martin Luther King Jr. juga pernah berkata demikian: Intelligence plus character; that is the true goal of education. Di sini kita melihat, betapa penting dan strategis peranan para pemimpin dalam bidang pendidikan untuk membawa kemajuan bangsa. Setiap gerak dan ucapan pemimpin memiliki dimensi pendidikan. (Siswono Yudohusodo, 2007).

Kecerdasan dan karakter adalah tujuan yang benar dari sebuah proses pendidikan. Kecerdasan yang dimaksud bukan tentang kejeniusan peserta didik (memang bukan itu), melainkan tentang kesadaran diri (self-awareness), pengetahuan dan kreativitas, serta kemampuan peserta didik dalam menyelesaikan masalah (problem-solving). Sedangkan karakter sangat berkaitan erat dengan sikap mental dan tata nilai (attitude) seseorang. Sangatlah tepat apa yang telah diserukan oleh Martin Luther King Jr., jika disandingkan dengan empat aspek kompetensi pengembangan kurikulum pendidikan tinggi berbasis mutu yang meliputi: sikap dan tata nilai, penguasaan keilmuan, kemampuan kerja, dan kewenangan profesionalisme.

Peningkatan Kualitas Pendidikan

Pendidikan (terstruktur maupun tidak terstruktur, yang terbagi dalam tiga jalur utama: formal, nonformal, maupun informal, dan empat jenjang usia: dini, dasar, menengah, dan tinggi) sesungguhnya adalah proses penting bagi nation and character building. Pembangunan karakter bangsa adalah persoalan yang harus diatasi oleh setiap bangsa di dunia, termasuk negara kita, baik dalam konteks nasional, regional, maupun global. Dalam konteks nasional, karena pendidikan sejauh ini sepertinya masih belum mampu (tertatih-tatih) untuk memenuhi kebutuhan baik secara kualitas maupun kuantitas dalam rangka menjawab berbagai persoalan dan tantangan (indeks korupsi yang masih tinggi, angka pengangguran dan kemiskinan relatif lebih besar, kerusakan lingkungan yang lebih kritis, serta masalah swasembada pangan yang masih sulit dicapai) yang dihadapi oleh masyarakat, bangsa, dan negara saat ini maupun di masa mendatang. Dalam konteks regional, adalah diberlakukannya AFTA (Asean Free Trade Agreement) atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) pada tahun 2015. Tidak tertutup kemungkinan, pendidikan nasional pun akan terkena imbas yang tidak menguntungkan (meski hal ini pun sekaligus menjadi tantangan dan peluang) karena pada saat AFTA dimulai, kawasan ASEAN akan menjadi pasar terbuka, di mana arus barang, jasa, investasi, modal, dan bahkan pekerja profesional akan bergerak bebas keluar masuk dari dan ke negara-negara ASEAN. Dalam konteks global, diperkirakan pada tahun 2020 akan terjadi kesepakan global perdagangan dunia, yang akan menghapus hambatan-hambatan perdagangan (trade barriers) yang selama ini diadakan oleh masing-masing negara atau kawasan. Dan yang harus diwaspadai adalah bahwa globalisasi bukan saja mempengaruhi sektor ekonomi, tetapi akan berimbas luas terhadap identitas/jati diri budaya nasional, termasuk nilai-nilai, ideologi, dan agama dalam suatu bangsa di mana hal ini mungkin sulit untuk dikendalikan (Willy Susilo, 2015). Oleh karena itu, seruan Ki Hajar Dewantara di awal sangat penting untuk kita cermati dan tanamkan kepada generasi muda penerus bangsa.

Saya cukup yakin bahwa jatuh bangunnya sebuah bangsa dipengaruhi atau ditentukan oleh bagus tidaknya kualitas/mutu pendidikan manusianya. Keyakinan ini menuntut hadirnya metode pendidikan yang tidak lagi berfokus kepada pencapaian nilai/ranking semata-mata (bandingkan dengan sharing Prof. Dr. Rhenald Kasali berjudul Budaya Menghukum dan Menghakimi Para Pendidik di Indonesia di media daring tentang perbedaan cara mendidik murid di USA dan Indonesia), melainkan kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)-nya, yang ditopang oleh perbaikan sistem dan penataan organisasinya. Fokus ini selaras dengan apa yang pernah disampaikan oleh Profesor Yohanes Surya dalam seminar yang diadakan oleh USINDO Open Forum di Jakarta pada tanggal 27 April 2015, yang bertajuk Advancing STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) Development in the US and Indonesia. Beliau mengatakan, ada dua masalah utama pendidikan di Indonesia, yakni tentang (a) kualitas guru atau dosen sebagai tenaga pendidik dan (b) kualitas metode pembelajaran atau pendidikan yang diterapkan bagi anak didik. Jika demikian, seperti apa sesungguhnya profil pendidikan yang bermutu itu?

Pendidikan bermutu tidak diukur dari seberapa besar jumlah lulusan yang mampu dihasilkan oleh institusi-institusi pendidikan dalam sebuah bangsa, melainkan dinilai dari seberapa besar kontribusi dari pendidikan terhadap kemajuan di berbagai bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya, metode pendidikan yang berfokus kepada peningkatan kualitas SDM telah memunculkan paradigma baru bila dibandingkan dengan metode tradisional yang menempatkan pendidik (bukan peserta didik) sebagai pusat (center). Dalam paradigma baru ini, TCL (teacher learning center) telah berubah menjadi SCL (student learning center). Siswa/mahasiswa diajak untuk lebih aktif berpartisipasi di bawah bimbingan, arahan, atau pendampingan dari guru/dosen, bukan indoktrinasi. Dengan demikian, pengetahuan (knowledge) yang diperoleh merupakan hasil konstruksi atau proses transformasi antara peserta didik dan pendidik, melalui keingintahuan (inquiry) dan penyelidikan (discovery) bersama. Pertanyaan yang sepatutnya muncul di benak para pendidik adalah: Apa yang seharusnya dipelajari siswa/mahasiswa esok?, bukan lagi Apa lagi yang akan saya ajarkan kepada mereka hari ini? Dengan demikian, paradigma baru ini juga menuntut restrukturisasi kurikulum yang harusnya mencakup tiga sifat penting, yakni: ethos/etika (menarik), logos/ilmu (menantang secara intelektual), dan pathos/cinta (menggairahkan). Hal ini juga, baik secara langsung maupun tidak langsung harus diikuti oleh ketersediaan sarana atau infrastruktur pendidikan yang cukup memadai.

Pengembangan Kurikulum

Berangkat dari filosofi bahwa membuat sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan adalah sebuah kemubaziran (kesia-siaan), maka pendidikan dapat dikatakan baik apabila lulusan yang dihasilkan memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan organisasi pemberi kerja, ataupun untuk memenuhi kebutuhan pribadi lulusan baik dalam berwirausaha maupun dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi setiap hari. Pendidikan yang baik berawal dari kurikulum yang baik. Kurikulum pendidikan (tinggi) yang baik dapat dinilai dari minimal empat aspek penting: (1) berfungsi sebagai blue print (cetak biru) proses transformasi peserta didik, (2) memenuhi prinsip link and match, keselarasan antara target kompetensi lulusan dengan kebutuhan kompetensi profesi di dunia kerja, (3) memuat informasi komprehensif, jelas, dan terukur yang dapat menjadi petunjuk arah dan teknis proses pembelajaran yang efektif untuk mencapai lulusan yang berkualitas, dan (4) memenuhi persyaratan minimal yang diatur dalam undang-undang.

Restrukturisasi dan pengembangan kurikulum pendidikan tinggi bisa mengacu kepada PERMEN DIKTI Nomor 49, tahun 2014, tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat KKNI). KKNI adalah pengembangan kurikulum yang lebih menitikberatkan pada kerangka penjenjangan capaian pembelajaran (learning outcomes) yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan pelatihan serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi* sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor. *Kompetensi adalah kemampuan individu untuk melakukan pekerjaan dengan benar, berupa seperangkat definisi perilaku yang memberikan panduan terstruktur, yang memungkinkan terjadinya identifikasi, evaluasi, dan verifikasi. Kompetensi juga merupakan seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu (SK Mendiknas No. 045/U/2002). Jenjang kualifikasi ini (kualifikasi I sebagai level terendah-pendidikan SMP dan kualifikasi IX sebagai level tertinggi-pendidikan S3) harus disepakati secara nasional dan disusun berdasarkan ukuran pencapaian proses pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja. Dengan demikian, KKNI merupakan perwujudan mutu dan jati diri bangsa Indonesia terkait dengan sistem pendidikan nasional dan pelatihan yang dimiliki Indonesia.

Sesuai dengan ideologi negara dan budaya bangsa kita, maka implementasi sistem pendidikan nasional dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang akan dapat menumbuhkembangkan sikap dan tata nilai berikut (dimensi kompetensi pertama): (a) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) memiliki moral, etika, dan kepribadian yang baik di dalam menyelesaikan tugasnya, (c) berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air serta mendukung perdamaian dunia, (d) mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan lingkungannya, (e) menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal orang lain, dan (f) menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki semangat untuk mendahulukan kepentingan bangsa atau masyarakat luas. (S.P. Mursyid, Kurikulum Pendidikan Tinggi Sesuai KKNI, 2014).

Dimensi kompetensi lain (kedua) yang diatur dalam KKNI adalah penguasaan keilmuan. Hal ini meliputi penguasaan konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu secara umum dan khusus serta mendalam dan sanggup memformulasikan penyelesaian masalah secara prosedural. Sedangkan untuk kompetensi kemampuan kerja (dimensi kompetensi ketiga), lulusan sarjana S1 diharapkan mampu mengaplikasikan bidang keahliannya dan memanfaatkan bidang-bidang teknologi, rekayasa, ilmu, matematika, dan seni (TRIMS) dalam penyelesaian masalah ketika melakukan pekerjaan profesinya serta mampu beradaptasi terhadap situasi yang dihadapi. Diharapkan juga, mampu mengambil keputusan yang tepat berdasarkan analisis informasi dan data dan mampu memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif solusi secara mandiri dan kelompok. Ini yang dimaksud dengan hak, dan wewenang tanggung jawab sebagai pilar (dimensi kompetensi) keempat.

Kebutuhan Mendesak

Dalam tulisan Johanes Eka Priyatma tentang Formalisme dalam Pendidikan Formal dituliskan demikian: Kuatnya formalisme di dunia pendidikan kita sudah pada taraf akut, bahkan sudah menjadi semacam ideologi bahwa hal itu menjamin kualitas yang lebih baik. Padahal, dampaknya adalah pereduksian makna dan praktik pendidikan ke wilayah formal legalistik. Pembelajaran tereduksi menjadi perkara administrasi nilai. Penelitian berubah lebih menjadi perkara pembuatan laporan keuangan. Demikian pula, kegiatan pemantauan dan evaluasi kualitas pendidikan lebih berkutat pada perkara ketersediaan dokumen dan pemenuhan peraturan. (Kompas, 18/5/2015)

Kutipan tulisan beliau di atas menyuarakan keprihatinan yang sangat mendalam tentang kualitas pendidikan kita baik dari tingkat dasar sampai tinggi. Memang telah banyak usaha dan dana yang dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita, tetapi secara mendasar belum menyentuh kunci utama perbaikan yang sesungguhnya. Di satu sisi, formalisme perlu dijauhkan dari dunia pendidikan dan di sisi lain, institusi pendidikan harus berbenah diri dan berani transparan dalam mengelola kegiatannya demi menjaga mutu pendidikan. Kita sangat membutuhkan para guru dan dosen yang memiliki visi yang jelas akan tujuan dari pendidikan yang sebenarnya. Inilah kebutuhan mendesak kita saat ini dan seterusnya di masa mendatang. Kita sangat membutuhkan pemimpin-pemimpin di dunia pendidikan yang bisa menjadi kompas bagi peserta didik, yang tahu kemana harus melangkah dan apa goal/tujuan yang harus diraih, yang bisa memberikan bimbingan tanpa harus menggurui sehingga peserta didik mampu mengembangkan potensi yang dia miliki secara maksimal, yang memiliki falsafah fortiter in re, suaviter in modo (tegas dan keras dalam prinsip, lembut dan luwes dalam cara). Secara pengalaman, falsafah ini sangat berhasil dipakai dalam mendidik kaum muda.

Ada sebagian orang yang memang dilahirkan sebagai pemimpin, sebagian lagi terpaksa menjadi pemimpin karena tuntutan situasi. Dari seorang pemimpin dituntut wawasan dan pengetahuan yang luas, yang berarti harus ada kesadaran untuk selalu mau belajar dan diajar. Memang tidak semua pemimpin memiliki kemampuan untuk berbicara dengan fasih/berapi-api di depan mimbar/orang banyak. Justru banyak pemimpin yang lebih memberikan arti kepemimpinan melalui kesederhanaan dan kerendahan hatinya.

Sebagai dosen muda, generasi penerus, dan calon pemimpin masa depan, yang telah diberikan kebebasan berpikir dan berkarya, saya perlu secara teliti dan mendalam bertanya secara jujur, Apakah saya benar-benar mau memilih untuk menjadi pemimpin di bidang pendidikan, baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak, dengan segala konsekuensi dan tanggung jawabnya? Seorang tenaga pendidik (guru/dosen) harus menyadari bahwa tidak ada orang yang mempunyai tanggung jawab lebih besar daripada mereka yang mengajarkan kebenaran. Sungguh, betapa luhur dan mulianya tugas ini!

Joni Welman Simatupang

Staf Pengajar di Program Studi Teknik Elektro

Kepala Program Studi Teknik Elektro Periode 2017-2018

President University, Cikarang-Jawa Barat

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Danamon dan Central Park Mall Berkolaborasi Perkuat Ekosistem Finansial

Selasa, 19 Maret 2024 - 07:15 WIB

Danamon dan Central Park Mall Berkolaborasi Perkuat Ekosistem Finansial

Sebagai bagian dari komitmen untuk mengembangkan PT Bank Danamon Indonesia Tbk (Danamon) menjadi grup keuangan terkemuka, dengan profitabilitas yang berkelanjutan, Danamon terus melakukan berbagai…

Dialog Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) yang mengangkat tema 'Biaya Kuliah Tinggi, Pinjaman Pendidikan Jadi Solusi?', Senin (18/3).

Selasa, 19 Maret 2024 - 07:15 WIB

Wow! Kabar Baik bagi Mahasiswa yang tidak mendapatkan KIP, Pemerintah Bakal Siapkan Pinjaman Lunak Tanpa Bunga

Jakarta, FMB9 - Pemerintah tengah mengkaji pinjaman sangat lunak untuk mahasiswa sebagai solusi pendanaan pendidikan di perguruan tinggi. Masih belum terjangkaunya biaya pendidikan tinggi bagi…

Menteri Basuki Tegaskan Komitmen Kementerian PUPR Gunakan Produk Dalam Negeri

Selasa, 19 Maret 2024 - 06:15 WIB

Menteri Basuki Tegaskan Komitmen Kementerian PUPR Gunakan Produk Dalam Negeri

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono terus mendorong pemanfaatan produk dalam negeri dalam pembangunan infrastruktur di Kementerian PUPR.

Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah (kanan) berinteraksi dengan pelanggan GraPARI TelkomGroup Medan dalam rangkaian acara Safari Ramadan sebagai bagian dari program TelkomGroup Siaga RAFI (Ramadan Idul Fitri) 2024 di Medan, beberapa waktu lalu.

Selasa, 19 Maret 2024 - 05:33 WIB

Safari Ramadan 1445 H TelkomGroup: Tinjau Kesiapan Infrastruktur Layanan Telekomunikasi dan Salurkan Bantuan CSR

Bersamaan dengan momentum Ramadan dan Idul Fitri 1445 H, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom) kembali melaksanakan kegiatan tahunan Safari Ramadan sebagai bagian dari program TelkomGroup…

Panglima TNI Pimpin Serah Terima Jabatan Dankodiklat TNI

Selasa, 19 Maret 2024 - 05:33 WIB

Panglima TNI Pimpin Serah Terima Jabatan Dankodiklat TNI

Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto memimpin upacara serah terima jabatan Komandan Komando Pembinaan Doktrin Pendidikan dan Latihan (Dankodiklat) TNI, dari Letjen TNI Eko Margiyono kepada…