Ekonomi Indonesia Hadapi Lawan-Lawan Tak Kelihatan

Oleh : Prof. Rhenald Kasali Ph.D. | Sabtu, 31 Desember 2016 - 09:21 WIB

Prof. Rhenald Kasali Ph.D.
Prof. Rhenald Kasali Ph.D.

INDUSTRY.co.id - Proyeksi ekonomi Indonesia 2017 beserta angka-angka pertumbuhan, inflasi, lapangan kerja, peta investasi, dan seterusnya sudah sering Saudara baca.

Demikian juga ancaman dan peluang dari pasca terpilihnya Donald Trump dan dunia yang semakin protektif. Kehidupan berusaha dan berprofesi di tahun-tahun mendatang juga tidak akan lebih mudah karena muncul peta yang sama sekali baru.

Banyak hal-hal baru yang menakutkan incumbents hadir di depan mata. Salah satunya, proses penghancuran melalui inovasi, bisnis model, dan disrupsi.

 

Lawan-Lawan Tak Kelihatan

Yang jelas para usahawan tengah menghadapi kompetisi baru yang identitasnya tak begitu kelihatan. Seperti Blue Bird dan Express yang kecolongan Grab dan Uber. Lawan itu datang tanpa logo, tanpa pelat nomor kuning, dan tak ada tulisan taksi. Tahu-tahu armada itu sudah besar dan menggerogoti penerimaan perusahaan.

Akibatnya, Express rugi Rp 81 miliar per kuartal ketiga 2016. Sedangkan laba Blue Bird turun dari Rp 625,42 miliar ke Rp 360 miliar pada kuartal ketiga 2016.

Pada 2016 akhir, kita juga mendengar banyak kalangan pemilik hotel yang menyatakan keinginan untuk exit dari industri ini per kuartal III 2016. Alasannya adalah kontraksi dana APBN yang membuat okupansi hotel untuk keperluan meeting pemerintah berkurang.

Faktanya, para traveler pemula (the millenials) tengah beralih dari hunian hotel ke penginapan-penginapan berbasiskan sharing economy, seperti Airbnb dan Couchsurfing. Di Bali, di sepanjang Jalan Sunset Road, tumbuh rumah-rumah kos elite yang ditawarkan dengan pola ini.

Belum lagi restoran-restoran yang kelak akan kehilangan pengunjung dengan tawaran-tawaran makan siang atau malam bersama penduduk di rumah-rumah mereka melalui platform sharing economy.

Lantas, bagaimana dengan produk sehari-hari? Ambil saja produk makanan. Sejak tahun 2009 konsumen kelas menengah dunia sudah mulai meninggalkan makanan dalam kemasan, beralih ke makanan segar dan organik.

Di berbagai kota besar di Indonesia, kita saksikan rombongan tukang sayur bersepeda motor semakin banyak mendatangi kawasan perumahan. Lalu toko buah-buahan segar dan sayuran tumbuh pesat.

Di Amerika Serikat sendiri, sejak tahun itu 25 produsen utama makanan olahan telah kehilangan pendapatan sebanyak US$ 18 miliar.

 

Di Laut juga Berubah

Masalah dalam angkutan laut ternyata juga sama. Lagi-lagi banyak pihak salah membaca menyusul bangkrutnya raksasa Shipping Lines, Hanjin (Korea) yang menguasai pangsa pasar 3 persen dunia.

Umumnya para analis menunjuk pelemahan pertumbuhan ekonomi dan melemahnya harga-harga komoditi dunia, yang bahkan mengakibatkan harga kapal anjlok 60 persen dari harga semula.

Akan tetapi, fenomena ini sebenarnya tak berbeda jauh dengan fenomena bisnis taksi, sebab shipping company kini tak perlu lagi mempunyai kapal sendiri. Cukup menjadi operator saja. Jadi, order angkutan barang dari Kalimantan menjadi mahal kalau harus diangkut dengan kapal dari Jakarta. Kini operator cukup mengontak kapal-kapal yang ada di dekat lokasi yang pasti lebih murah.

Dengan strategi ini, Djakarta Lloyd yang dulu juga sempat terancam bangkrut antara 2008-2013 rugi terus dengan total Rp 554 miliar, kini sudah kembali sehat dengan catatan keuangan di tahun 2016 mampu menorehkan laba bersih Rp 40 miliar, sebagai operator company.

Gerak perusahaan operator ini memang tak kelihatan dan begitu luas di seluruh industri dan sektor, tetapi selalu disangkal incumbent. Padahal, perubahan ini sudah mengikuti hukum moore yang terjadi secara eksponensial, supercepat.

Saya harap bulan depan anda sudah bisa membaca kajiannya dalam buku saya yang berjudul Disruption. "Sekalipun Anda Incumbent, dan menghadapi lawan-lawan tak kelihatan, cegah kehancuran sekarang juga."

Saya harap Anda bersabar dulu. Jadi ini adalah sebuah era yang membutuhkan disruptive regulation, disruptive mindset, dan disruptive marketing.

 

Mari Kita Kenali Ciri-Cirinya

Pertama, teknologi mengubah kita semua dari peradaban time series menjadi real time. Time series statistic menghasilkan indikator-indikator lagging (ketinggalan). Ia menghitung dengan benar, tetapi basis datanya adalah masa lalu.

Peradaban real  bisa menghasilkan indikator-indikator kekinian (current indicator), saat ini, yaitu saat kita menghadapinya sehingga lebih relevan untuk membuat keputusan. Ini tentu berkat teknologi big data analitycs.

Kedua, dulu untuk berbisnis, Anda harus memilikinya sendiri. Kini Anda bisa saling memanfaatkan resources.

Ketiga, dulu, teknologi tak memungkinkan kesegeraan. Kita semua harus antri (on the lane), sabar dan rela menunggu. Kini, Anda hidup dalam on demand economy. Jarak sudah mati, stok, data, dan armada, sudah dipindahkan ke dekat lokasi yang membutuhkannya. Teknologi dan algoritma data besar memungkinkan bagi kita untuk melakukannya.

Keempat, kurva supply-demand yang dulu Anda pelajari adalah permintaan-dan-penawaran tunggal. Kini kita hidup dalam dunia apps yang pada saat bersamaan dikerjakan oleh puluhan, bahkan ribuan jejaring.

Kelima, musuh-musuh Anda (kompetitor) sudah tak lagi kelihatan. Mereka langsung masuk ke sasaran-sasaran utama, kepada konsumen, door to door, langsung. Seperti Uber yang tak kelihatan, tak berbendera, tak bertanda apa-apa.

Sekali lagi, sejak dunia mengenal hukum Moore, disruption ini bersifat eksponensial, bukan linear. Artinya supercepat. Bayangkan apa jadinya kalau Anda terlalu lama membuat keputusan, desain perusahaan rigid dan statik, dan pegawai Anda bermental passenger?

 

Selamat Menapaki 2017.

Happy Holiday.

 

 

Prof. Rhenald Kasali Ph.D.

Guru Besar Ilmu Manajemen UI
@Rhenaldkasali

Komentar Berita

Industri Hari Ini

Bank Tabungan Pensiun Nasional Tbk (BTPN)

Kamis, 28 Maret 2024 - 14:44 WIB

Bank BTPN Akuisisi Dua Perusahaan Pembiayaan PT Oto Multiartha dan PT Summit Oto Finance

Akuisisi OTO dan SOF jadi tonggak penting bagi Bank BTPN dalam mendorong inovasi produk dan layanan yang semakin relevan dengan kebutuhan perbankan dan pembiayaan masyarakat Indonesia.

Alfath Flemmo, Komposer Produser Musik AI, Mahasiswa President University

Kamis, 28 Maret 2024 - 14:13 WIB

Alfath Flemmo, Komposer Produser Musik AI, Mahasiswa President University Raih Beasiswa dari Sony Music Group Global Scholars Program

Alfath, mahasiswa President University, musisi muda Indonesia asal Kabupaten Jombang, Jawa Timur, yang tengah menempuh studi sarjana Sistem Informasi untuk Bisnis dan Manajemen telah mencatat…

Pelita Air

Kamis, 28 Maret 2024 - 13:51 WIB

Dukung Kelancaran Angkutan Lebaran 2024, Pelita Air Siapkan 273 Ribu Kursi Penerbangan

Pelita Air (kode penerbangan IP), maskapai medium service, menyiapkan 273 ribu kursi penerbangan selama periode angkutan lebaran pada 3 hingga 18 April 2024. Hal ini dilakukan untuk mendukung…

Juru Bicara Kemenperin Febri Hendri Antoni Arif

Kamis, 28 Maret 2024 - 13:05 WIB

15 Subsektor Ekspansi, IKI Maret 2024 Tembus 53,05

Indeks Kepercayaan Industri (IKI) bulan Maret 2024 mencapai 53,05, meningkat sebesar 0,49 poin dibandingkan bulan Februari 2024 sebesar 52,56. Kenaikan nilai IKI pada Maret ini dipengaruhi oleh…

TikTok Rising Temukan Sensasi Musik Indonesia Berikutnya

Kamis, 28 Maret 2024 - 12:50 WIB

TikTok Rising Temukan Sensasi Musik Indonesia Berikutnya

Platform hiburan digital terkemuka, TikTok, meluncurkan TikTok Rising Indonesia, program baru untuk menemukan dan mendukung talenta-talenta lokal yang sedang berkembang, membina komunitas musisi…