Budaya Baca di SD: Perpustakaan, Literasi dan Kreatifitas Peserta Didik

Oleh : Ismatillah A. Nuad | Jumat, 08 September 2017 - 11:30 WIB

Ismatillah A. Nuad. (Foto: IST)
Ismatillah A. Nuad. (Foto: IST)

BUDAYA menumbuhkan kegemaran membaca sejak di Sekolah Dasar (SD) sangat penting bagi siswa-siswi peserta didik setidaknya karena dua hal. Pertama, budaya baca mampu membantu melejitkan pertumbuhan otak secara lebih cepat dibanding anak yang statis atau kurang suka membaca. Kedua, budaya membaca juga dapat merangsang kreatifitas bagi anak karena terinspirasi dengan bacaan positif yang disuguhkan perpustakaan sekolah.

 

Terlebih di era perkembangan saat ini, kita dituntut untuk memiliki pengetahuan yang lebih yang harus dimulai serta dipupuk sejak dini. Para peserta didik dituntut untuk lebih mengembangkan diri, membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang positif, hal ini tak lain dengan cara mencintai dunia membaca atau sekarang sedang beken dikenal dengan dunia literasi (meski literasi cenderung lebih luas karena mencakup aspek tulis-menulis juga). Dengan “dunia literasi, dunia berada dalam genggaman”.

 

Budaya literasi merupakan instrumen perkembangan saintifik. Budaya literasi sebagian besar bertanggung jawab bagi munculnya pemikiran modern yang khas, seperti filsafat, sains, keadilan, dan pengobatan. Sebaliknya, literasi merupakan musuh dari takhayul, mitos, dan magis.

Jika kita lihat perkembangan sekarang ini, sebetulnya pemerintah maupun pemprov di daerah-daerah sangat mendukung adanya pengembangan budaya membaca, dengan misalnya, membangun perpustakaan-perpustakaan daerah, perpustakaan keliling, perpustakaan di mall, dan lainnya. Semua sangat positif bagi masyarakat, untuk lebih membuka cakrawala pengetahuan.

Karena bagaimanapun antara minat membaca dan perpustakaan yang ada di sekolah, bagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Perpustakaan adalah medium bagi siswa-siswi untuk merangsang keinginan membaca. Perpustakaan adalah salah satu sarana untuk mengkondisikan dunia pendidikan yang maksimum karena berbagai macam pengetahuan bisa diketahui dengan membaca buku-buku bermanfaat.

Sekolah harus menjadi lembaga pendidikan yang demokratis. Dimulai dengan membiasakan baca-tulis, mulai dari guru hingga murid, sehingga tercipta orang-orang yang mampu berpikir rasional dan mampu bersosialisasi secara demokratis. Ketika lulus dari sekolah, para siswa-siswi siap menjadi warga negara yang baik dan memiliki wawasan luas.

Buku-buku sebagai sumber pengetahuan harus menjadi ‘santapan’ wajib bagi para siswa-siswi. Kebiasaan membaca ini bisa didorong oleh keteladanan guru. Guru juga harus memiliki budaya literasi yang tinggi. Kita harus memperjuangkan budaya baca dan itu dimulai dari seorang guru. Sudah waktunya guru juga suka membaca dan juga suka menulis serta mempublikasikan tulisannya di mading, koran, atau blog pribadi.

Media sosial seperti facebook juga bisa dijadikan sebagai media untuk mempublikasikan tulisan. Bahkan guru juga diharapkan meneliti dan hasil penelitiannya diketahui oleh orang lain, terkhusus bagi para siswa-siswi. Kiranya sekolah bisa menjadi contoh budaya literasi yang tinggi di masyarakat. Semakin tinggi derajat literasi suatu bangsa, maka semakin berkembanglah bangsa tersebut.

Selain sebagai persinggahan dimana anak didik “berkomunikasi” secara intensif dengan buku-buku, baik bergambar, cerita, dan sebagainya, perpustakaan juga memungkinkan bagi terciptanya suatu tempat diskursif dan kritis antara siswa-siswi dengan lingkungan. Karena buku pada intinya bersumber dari lingkungan. Seorang penulis yang menulis buku, bersumber dari fenomena sosial dan lingkungan yang ada. Perpustakaan sekolah bisa menjadi sebuah “ruang publik” bagi siswa-siswi atau tempat untuk mengekspresikan dan mengembangkan daya lejit otak manusia yang sangat potensial.

Ada tiga hal yang sebenarnya menandai bahwa sesuatu disebut sebagai sekolah: yaitu responsif, demokratis dan bermakna. Responsif dalam arti sekolah harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan peserta didik, dimana perpustakaan sebagai medium baca adalah ‘soko guru’ utamanya.

Sementara demokratis berarti dapat digunakan secara demokratis bagi kepentingan siapapun peserta didik maupun orang tua yang menitipkan putra-putrinya untuk mendapat pendidikan dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik manusia. Terakhir, sekolah harus memiliki tautan antara manusia (para peserta didik), ruang, dunia luas (melalui perpustakaan dan internet), dan konteks sosial.

Perpustakaan sebagai “ruang publik” bagi siswa-siswi karena ditujukan untuk pendidikan yang intensif dimana peserta didik bisa membaca secara luas, berdiskusi dengan guru pembimbing, dan dengan teman. Sebagai ruang publik bagi siswa-siswi, perpustakaan sebenarnya tak boleh terjamah tangan industrialisme yang sudah pasti memiliki kepentingan dan corporate.

Dalam kasus di Jakarta, misalnya, tidak sedikit perpustakaan dimiliki oleh korporasi. Corporate Social Responsibility (CSR) dari sebuah korporasi, tak jarang membuat perpustakaan sebagai salah satu bukti kepedulian sosial. Padahal di sisi lain, korporasi tersebut memiliki kepentingan tertentu, menitipkan pesan-pesan melalui medium perpustakaan.  

Hal tersebut sebetulnya bukan hal baru, sebab industrialisasi lahir dari penguasa modal, karenanya sebuah korporasi pasti berusaha ingin meraup kepentingan demi keuntungan tertentu. Dalam Die Globalisierungsfall (2001) contohnya, George Hamann, seorang jurnalis yang berhasil membukukan reportasenya diseputar globalisasi membuktikan tentang kegagalan-kegagalan korporasi industrial.

Menurutnya, salah satu sebab kegagalan globalisasi yang dibangun kaum korporat karena kurang berpihak pada kepentingan umum. Publik yang menjadi objek dari industri global kaum korporat semestinya diberikan rasa keadilan dan kepentingannya secara penuh, dan netral, bukan secara kontradiktif malah memberikan sebaliknya.     

Disamping itu, perpustakaan yang menjadi berbasis ‘industri kapitalistik’ seakan beralih fungsi bukan lagi sebagai sarana mendidik untuk membentuk proses keadaban sosial bagi peserta didik, tapi hanya sekedar untuk kebutuhan urbanisme sosial.

Perpustakaan sekolah sebagai ruang publik bagi siswa-siswi yang diciptakan oleh industri kapitalistik sebenarnya berpotensi menjadi alat penindas bagi masyarakat lain. Karena secara natural, sekolah membentuk karakter dan tak hanya menghasilkan kekreatifan sosial an sich, melainkan tempat bersemainya benih-benih masyarakat beradab yang memiliki integritas dan persaudaraan yang tinggi. Sedangkan sekolah yang industrialistik, cenderung bersifat eksploitatif.

Pendidikan meniscayakan terkondisikannya komunikasi diskursif, dimana seorang guru dan murid seharusnya saling berinteraksi dalam keilmuan, saling beropini mencipta gagasan-gagasan yang akan memulai proses pendidikan sosial. Ia tercipta secara naturalistik berkat kesadaran kultural, dan cenderung menolak model pendekatan terciptanya sekolah industrialistik.

Proses pembentukan atau penentuan apa yang menjadi shared value melalui sebuah proses yang dinamis, dimana shared value tidak stagnan, tetapi mengalami bargaining sepanjang waktu sehingga kerap berubah menyesuaikan latar tempat dan waktu dimana masyarakat tersebut hidup. Pada perpustakaan sekolah sebagai ruang publik, ketika batasan berdasarkan shared value telah ditetapkan, ketika itu pulalah muncul “aturan-aturan” yang secara jelas akan bisa mengikat siswa didik.

Perpustakaan di sekolah sangat potensial untuk memberi kontribusi kemajuan suatu bangsa, karena disitulah sarana bersemainya proses pembentukan keadaban manusia. Jika kita sadar bahwa perpustakaan sebagai ruang publik sangat penting bagi pembentukan kemajuan siswa-siswi, mestinya tidak ada lagi kepentingan yang cenderung industrialistik yang pada gilirannya justru akan mematikan kreatifitas sosial dan kepekaan terhadap anak-anak kita yang tengah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah.

Ismatillah A. Nu’ad, Peneliti Indonesian Institute for Social Research and Development, Jakarta.

Komentar Berita

Industri Hari Ini

PointStar gelar acara “Iftar Insights: Understand Retail Business Continuity & Operational Challenges during Ramadan”.

Jumat, 29 Maret 2024 - 00:47 WIB

PointStar Dukung Pemerintah Capai Target Pertumbuhan Lewat Transformasi Digital

PointStar berkomitmen untuk menyediakan solusi teknologi yang inovatif dan terdepan untuk membantu perusahaan ritel menghadapi tantangan perekonomian global dan lokal.

Kolaborasi Bank DKI dan PT Jalin Pembayaran Nusantara, Kini Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM BRI

Kamis, 28 Maret 2024 - 22:44 WIB

Kolaborasi Bank DKI dan PT Jalin Pembayaran Nusantara, Kini Nasabah Bank DKI Bisa Tarik Tunai Tanpa Kartu di ATM BRI

Jakarta – Bank DKI kembali menunjukkan komitmennya dalam memberikan layanan terbaik kepada nasabah khususnya dalam layanan digital.

Bank DKI Raih Penghargaan Indonesia Best 50 CEO 2024

Kamis, 28 Maret 2024 - 22:27 WIB

Bank DKI Raih Penghargaan Indonesia Best 50 CEO 2024

Jakarta – Bank DKI kembali meraih apresiasi dari lembaga independen, kali ini dari media The Iconomics sebagai Indonesia Best 50 CEO pada Kategori Bank Daerah, yang diserahkan langsung pada…

Studi Klinis SANOIN dan P&G Health atasi anemia.

Kamis, 28 Maret 2024 - 22:06 WIB

SANOIN dan P&G Health Lakukan Studi Klinis Atasi Anemia

Beberapa temuan dari studi klinis SANOIN terbaru yang didukung P&G Health dan dilakukan oleh para pakar kesehatan terkemuka, menunjukkan efikasi dari suplementasi zat besi dengan Sangobion

Direktur Enterprise & Business Service Telkom Indonesia FM Venusiana R. bersama Kepala LKPP Hendar Prihadi

Kamis, 28 Maret 2024 - 21:48 WIB

Sistem E-Katalog Versi 6.0 LKPP Resmi Meluncur, Lebih Responsif, Bisa Lacak Pengiriman dan Pembayaran

Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) luncurkan Katalog Elektronik Versi 6 pada Kamis (28/3) di Jakarta. Inovasi terbaru yang dibangun untuk meningkatkan performa sistem…